Senin, 19 Desember 2011

Jangan Merokok Lagi, Ma ...

                 Reni terduduk diatas kloset toilet Mall tempat kerjanya. Memandangi sebuah testpack bergaris merah dua ditangan kirinya. Hasilnya positif. Takut, bingung berkecamuk dihati. Tangan kanannya mencengkeram rambut panjangnya. Ia ingin menangis, tapi itu bukanlah pada tempatnya. Gadis dua puluh tahun itu segera memasukkan testpack kedalam tasnya dan bergegas keluar. Tangannya gemetaran . langkahnya sedikit dipercepat meski tak ada seorangpun yang sedang mengejar. Lalu langkahnya berhenti di Food Court, mengambil handphone disaku, menelpon seseorang yang pastinya ada kaitannya dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Beberapa kali panggilannya tidak terangkat, namun tanpa putus asa ia terus mencoba, sampai akhirnya seseorang disana mengangkat.
“Halo, Gerry, kamu dimana, sayang?” sapanya dengan nada cepat.

“Ditempat kos lah. Kenapa?” suara Gerry terdengar berat.

“Kamu lagi ngapain? Aku mau ketemu sama kamu, Ger. Ini penting!” intonasi Reni terdengar kacau.

“Ini baru bangun tidur. Mau ngomong apaan sih?” suara Gerry masih terdengar malas.

“Aku gak bisa ngomongin ini lewat telfon. Ini penting banget!”

“Iya, penting itu apa?!” Gerry setengah jengkel.

“Ger, aku hamil!” kata Reni sedikit melirihkan suaranya.

“Hah!!! Yakin kamu???”

“Iya, tadi aku udah cek pake testpack,”

“Trus mau kamu apa?”

“Iya kamu cowok gimana tanggung jawabnya?”

“Hah? Kamu yakin itu hamil sama aku?”

“Maksud kamu apa, Ger?!”

“Iya temen cowok kamu banyak, bisa aja kamu sama mereka,”

“Anjing kamu, Ger! Aku gak pernah ML sama siapapun selain kamu!”

“Yah mana aku tau? Bisa aja itu bukan anakku, lagian kita juga baru pacaran sebulan,”

“Anjing! Pokoknya kamu harus tanggung jawab, Ger!”

“Gak bisa gitu donk! Ogah gue mah, belom tentu juga itu anak gue!”

“Pokoknya aku tunggu kamu di Food Court Tunjungan Plaza sekarang. Kita harus ngomong, Ger,”

“Ah, apaan sih lo!”

Gerry menutup telfonnya. Telinga Reni tak mampu menerima pembicaraan dari telfon barusaja. Telinganya mengeluarkan suara ‘nguiiiiinnggg…’ mengalahkan suara hiruk pikuk Mall. Ia ingin menangis, tapi sekali lagi air matanya keluar tidak pada tempatnya. Sekarang yang dilakukan hanya menunggu Gerry. Maksud hati ingin langsung meluncur ke kos nya, tapi sialnya dia belum tau dimana kosan Gerry.

               Suasana Food Court sudah sepi pengunjung, tinggal beberapa karyawan yang mulai membereskan piring-piring bekas yang masih ada di meja. Ternyata Gerry memang tidak datang. Ditelfon pun handphonenya nonaktif. ia berlari. Menangis. Tak peduli dengan beberapa pasang mata karyawan yang tertuju padanya. Ini hidupnya. Tak peduli mereka bilang apa. Toh mereka juga tak peduli pada hidupnya.

*

               Masih ada separuh cairan yang tersisa dibotol Chivas Regal didepannya. Reni menuang lagi setengah gelas sloki besar ditangannya. Ia masih menangis. Entah tak pernah ia berhenti menangis setiap hari. Takut apa yang akan dikatakan pada orang tuanya didesa tentang kehamilannya.

“Sampe sekarang masih belom ada kabar dari Gerry, Ren?” tanya Bella, teman sekosnya.

“Belom. Anjing dia! Aku udah ketemu kosnya tapi kata temen-temennya dia udah balik ke Jakarta. Dasar anjing!” jawab Reni dalam tangisnya.

“Cowok emang anjing, Ren. Sabar aja,” Bella mengusap pundak Reni, “trus kamu maunya gimana?” wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu memeluknya dari samping.

“Tauk lah, Bel. Aku udah coba semua jamu yang orang-orang bilang, aku juga udah cobain nanas muda, tapi belom ada hasilnya juga. Sementara ini udah 3 bulan jalan,” Reni semakin menangis.

Bella memeluk erat tubuh temannya yang tak pernah berhenti menangis. Sebenarnya ia tak ingin menberi saran yang buruk, namun ia tak tega dengan kondisi temannya yang sudah sekamar hampir 2 tahun. Dengan terpaksa ia memberi saran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, “Ren, aku punya temen yang pernah aborsi. Mungkin aku bisa tanya-tanya ke dia dimana tempatnya kalau kamu mau?” kata Bella pelan.

Reni terdiam. Lalu mengangguk pelan.

               Dipikirkannya saran Bella selama berjam-jam. Dihabiskannya malam dengan alkohol dan berbatang-batang rokok putih. Keegoisan dan hati nuraninya bertarung dalam otaknya. ‘Ini bukan salah bayi ini,’ batin Reni sambil mengelus perutnya yang sedikit lebih lebar dari biasanya. ‘Bukan keinginnannya juga untuk muncul diperutku, tapi apa kata orang didesa? Tapi dia anakku yang nggak ngerti apa-apa. Gimana aku bisa tega membunuh anakku sendiri?’ pikirannya berkecamuk. Begitu riuh renyah didalam sana. Masih dalam tangisannya disulut rokok putihnya yang tinggal sebatang.

*

               Reni berjalan-jalan ditempat pusat perbelanjaan. Ia melangkah menuju rak-rak yang berisi susu kaleng. Ia mengambil salah satu susu untuk ibu hamil. Kaleng susu dirumah yang ia beli 2 minggu yang lalu sudah habis. ia mengelus perutnya yang hampir 4 bulan. ‘Mama beliin buat kamu, sayang, biar kamu sehat,’ katanya dalam hati sambil tersenyum. ‘Terimakasih, Ma. Aku sayang Mama,’ Tiba-tiba reni terdiam, ia seolah-olah mendengar sebuah suara kecil dalam hatinya. Lalu ia melangkah lagi menuju kasir. Tangannya masih tak lepas dari perutnya, dibelainya dengan kasih sayang.

“Reni kamu beli apa?” seorang wanita berumur 40 tahunan menyapanya dari belakang antrian kasir.

Reni kaget bukan main ketika menyadari wanita itu adalah tetangga di kosnya, wanita itupun tak kalah kagetnya ketika melihat Reni memegang perut dan membawa susu kaleng. Reni terdiam, ia bingung apa yang harus ia jawab, begitu pula wanita itu.

“Aku mau pesen beras dulu yah, Ren,” kata wanita itu lalu buru-buru pergi dari hadapan Reni.

Reni masih terdiam. ‘Gawat! Pasti akan jadi gossip besar! Aku berarti harus siap cari kos-kosan baru!’ batin Reni.

               Tak pelak, keesokan harinya ia sudah jadi gunjingan tetangga. Semua tetangga memandang risih ketika ia lewat, bahkan ada beberapa yang langsung berkomentar buruk didepannya, “Amit-amit jabang bayi, anakku jangan sampe seperti itu, begitu kata mereka.

               Reni berbaring dikamar kosnya. Ia menangis lagi. Sakit rasanya. ‘Aku hanya ingin menebus dosaku dengan tidak membunuh anak ini, apa aku salah?’ katanya dalam hati. Namun sekali lagi ia mendengar suara kecil dari dalam hatinya, ‘Mama adalah orang terbaik dan tercantik dalam yang aku tahu. Mereka salah, Ma. Jangan menangis. Aku disini. Aku tahu mama adalah orang yang terbaik yang nantinya akan aku temui didunia,’ suara itu begitu nyata berbisik dihatinya. Reni tersenyum, lalu mengelus anaknya yang ada diperutnya.

“Ren, orang-orang kenapa kok pada tau kamu hamil?” tiba-tiba Bella menyeruduk masuk kekamar.

Reni bangkit dari pembaringannya. Lalu duduk dikursi menghadap jendela, dan menyulut rokok putihnya, “Pas aku beli susu kemaren, ketemu sama bu Wulan. Eh, ternyata sekarang udah nyebar beritanya. Cepet, yah?” kata Reni tersenyum kecut.

“Dasar emang emak-emak, gossip mulu kerjaannya!” ujar Bella sengit.

Reni menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam.

“Berarti akunudah harus siap-siap cari tempat kos baru, Bell, sebelum diusir mendingan pergi duluan,” kata Reni.

“Aku temenin kamu kemanapun kamu pindah, Ren. aku gak bakalan biarin kamu melahirkan sendiri,” kata Bella mengusap bahu sahabatnya.

Reni memeluk Bella, “Thanks, Bell,”.

“Ren, kamu hamil kok, ngrokokmu masih kenceng aja sih? Gak baik loh buat janin kamu,” kata Bella sedikit berintonasi tinggi.

Reni tersenyum lalu mengelus perutnya, namun tak juga ia matikan rokok ditangannya, “Gimana lagi, gak bisa putusin rokoknya, Bell,”.

“Yah, tapi gak baik, Ren,"  

Hati Reni kembali terdengar bisikan, ‘Ma, rokok itu apa? Kenapa setiap kali asap ini datang, badanku sakit semua? Sakit sekali, Ma, rasanya, tapi aku tetap coba bertahan agar bisa temenin Mama,’ Reni terdiam. Lalu ia mencoba mengalihkan pikirannya.

Reni terdiam memandang perutnya, lalu mengambil tangan Bella untuk mengelus perutnya.

“Ini tante Bella, sayang. Temen Mama yang paling baik,” Reni berbicara lirih kepada perutnya sendiri.

Bella tersenyum lalu ikut menyapa, “Halo, sayang, jadi anak baik, yah, seperti Mamamu,”.

Janinnya gusar berputar-putar, mungkin karena asap rokoknya, namun Reni tak pedulikannya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan keras. Reni segera mematikan rokoknya. Bella segera membuka pintu yang terdengar berisik. Ibu kos dan beberapa ibu lain yang berwajah culas sudah berdiri diambang pintu.

“Reni, kamu harus keluar dari tempat kos saya. Saya nggak mau ada orang nakal tinggal ditempat saya,” kata Ibu kos tegas dan dengan wajah antagonis ala sinetron.

“Iya, kita nggak mau anak-anak kita ketularan jadi perek kayak kamu!” kata salah satu dari yg lainnya yang wajahnya tak kalah antagonisnya.

Reni tersentak. Tapi ia hanya diam.

“Iya, bu. Ini kami juga udah siap-siap pergi dari sini, kok, tenang aja,” ujar Bella sengit.

“Iya, secepatnya, kalo bisa hari ini!” kata wanita berumur 50 tahunan itu dan berlalu.

“Dasar perek!” kata satu wanita sebelahnya dan ikut berlalu dengan wajah culas.

Bella menutup pintu kamar. Memeluk Reni yang terduduk menangis.

“Aku cuma berusaha berbuat baik dengan gak menggugurkan kandunganku, Bell. Apa aku salah?”.

“Udah, Ren, sabar. Kita pindah dari sini, cari tempat yang lebih baik,”.

Ditengah tangisnya, kembali Reni didengari bisikan kecil dari hatinya, ‘Ma, jangan nangis. Mereka hanya tidak tahu kalau Mama baik. Aku janji, nanti aku tidak akan buat Mama nangis. Aku janji, Ma,’ . Reni mengelus perutnya dan bangkit untuk berkemas.

*

               Reni mematikan rokoknya ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kos-kosan barunya. Ia hendak bangkit untuk membuka pintu. Tapi dengan segera Bella bangkit.

“Biar aku aja yang buka, Ren,” kata Bella.

Ternyata yang ada dibalik daun pintu itu adalah Gerry. Dengan wajah lelah Gerry berdiri diambang pintu, matanya langsung tertuju pada Reni yang juga terkejut melihatnya. Bela menatap Gerry dan Reni bergantian. Tanpa ba-bi-bu, Gerry menerobos masuk dan berlutut dibawah Reni.

“Ren, aku minta maaf. Aku minta maaf saat itu aku ninggalin kamu,” katanya menangis dikaki Reni.

Reni terdiam. Kaku. Tak mampu berkata apa-apa. Antara sedih, bahagia, benci melebur menjadi satu menggangu pernafasannya. Hanya air matanya yang berbicara.

“Ren, aku datang kesini buat tanggung jawab, Ren. aku mau nikahin kamu, aku nggak sayang kamu, juga anak kita,” kata Gerry masih berlutut dalam tangisnya.

Reni masih terdiam dan tangisnya semakin memburu. Bella pun tak kalah menangisnya. Segera ditutupnya pintu kamar membiarkan mereka berdua.

Reni menjunjung Gerry untuk bangkit dari kakinya. Lalu memeluk Gerry.

“Sudah berapa bulan anak kita, Ren?” tanya Gerry sambil membelai perut Reni.

“Udah empat bulan jalan, Ger,” kata Reni ikut membelai perutnya.

“Beberapa hari lagi orang tuaku datang keSurabaya, Ren. buat nemuin orang tuamu diMalang. Kita harus segera menikah,” Gerry mencium kening Reni.

Reni tersenyum dengan air matanya, lalu mengangguk. Ia memegang tangan Gerry yang menempel diperutnya.

“Ini papa, sayang. Papa datang buat temuin kamu, kamu seneng kan?” kata Reni kepada perutnya sendiri.

“Papa sayang kamu, sayang,” Gerry duduk dihadapan Reni dan mencium perut Reni.

Untuk kesekian kalinya Reni mendengar suara kecil dihatinya, ‘Papa pasti cakep dan baik. Sama seperti Mama. Aku bahagia punya Papa dan Mama yang baik hati,’.

*

               Pagi itu perut Reni terasa mulas, panas, dan janinnya berputar-putar. Reni gelibekan, keringat dinginnya keluar.

“Ren, kamu kenapa?” tanya Bella gelisah.

“Gak tau, Bell, sakit banget!” Reni menangis menahan sakitnya.

“Ini kan masih empat bulan jalan, masa udah lahiran. Aku antar kedokter, yah?” kata Bella khawatir.

Reni mengangguk.

“Kamu sih, Ren. hamil, gak pernah control ke dokter sama sekali,”

“Ntar tolong telfonin Gerry, Bell,”

“Iya,”

               Gerry melajukan mobilnya kencang menuju rumah sakit terdekat. Menembus hujan deras yang mengguyur kota Surabaya sejak beberapa hari ini. Tibaah mereka dirumah sakit umum Kota Surabaya. Reni segera digiring menuju Unit Gawat Darurat. Namun sebelum Reni tertidur karena obat bius dokter, Reni sempat mendengar suara kecil dihatinya, 'Mama, aku minta maaf. aku sudah mencoba bertahan buat temenin Mama. tapi asap rokok yang Mama masukkan dalam tubuh Mama buat aku sakit, buat aku kepanasan. Aku selalu mencoba kuat, agar nantinya aku bisa melihat Mamaku yang cantik dan baik, dan papa juga. Maaf, Ma, maaf, Pa. aku kecewain Mama yang sudah sayang sama aku. Ma, berhenti merokok ya, Ma . Biar suatu saat nanti, kalo aku punya adik, dia nggak akan ngerasa kesakitan dan kepanasan kayak aku. aku sayang Mama ...” lantas suara itu hilang begitu saja.

Sepersekian detik kemudian Reni sudah tak sadar, namun hatinya menangis. ia merasa telah kehilangan anaknya. Dan hatinya berjanji untuk tidak akan menyentuh rokok lagi sampai kapanpun .

***

Minggu, 18 Desember 2011

Avril Lavigne - Tomorrow

Intro: A D (2x)

Verse 1:
A D
And I wanna believe you, when you tell me that it'll be okay

A D
I try to believe you, but I don't (Drums enter)

A D
When you say that it's gonna be, it always turns out to be a different way

A D
I try to believe you,

A D
not today, today, today, today, today


Chorus:

f#m E
I don't know how I feel

A D A D
Tomorrow, tomorrow

f#m E
I don't know what to say,

A D A D
Tomorrow, tomorrow is a different day


Verse 2:

A D
It's always been up to you, it's turning around it's up to me
A D
I'm gonna do what I have to do, just don't

A D
Give me a little time,leave me allone a little while

A D
Maybe it's not to late

A D
Not today, today, today, today, today


Chorus:

f#m E
I don't know how I feel

A D A D
Tomorrow, tomorrow

f#m E
I don't know what to say,

A D A D
Tomorrow, tomorrow is a different day


Bridge:

A D
Hey yeah, hey yeah, hey yeah, hey yeah, and I know I'm not ready

A D
Hey yeah, hey yeah, hey yeah, hey yeah, maybe tomorrow

A D


Verse 3:

A D
And I wanna believe you, when you tell me that it'll be okay

A D
I try to believe you, not today....

Sabtu, 17 Desember 2011

Suatu Ketika Saat Kau Meninggalkanku Disini


Dan suatu hari nanti kamu akan tahu kebenarannya,
kamu akan melihat aku berjalan dengan seseorang yang baru,
seperti kemarin ketika kamu menyakitiku,

membuatku sekarat dengan semua kesepian yang mencoba membunuhku ...

Aku masih ingat kenangan antara kau dan aku,
aku melakukan hal-hal yang gila,

hanya untuk membuat kamu dan aku bahagia ...

Tapi kau tahu?

aku tidak lagi takut untuk terluka oleh orang lain
dan aku tertawa jika ku ingat belajar merokok ketika kau pergi ...

Hubungan Status : Lajang


seorang anak laki-laki berlari kearah neneknya sambil berteriak, "Neeekkk!!! kakek meninggal!!!".
Nenek : "Yg bener, cu?! kamu jangan bercanda!!!" (kaget dan masih gak percaya)
Cucu : "Iya, mamah-papah dan yg lain udah pada ngumpul didepan. ayo nek, kedepan!" (cucunya meyakinkan)
Nenek : "Iya-iya. bentar. cu, pinjem hapemu bentar!"
Cucu : "Buat apa, nek?"
Nenek : "Buat ganti hubungan status diFb jadi "lajang".
Cucu : ??????????????????????????!!!!!

The Boy and The Apple tree


A long time ago, there was a huge apple tree. A little boy loved to come and play around it everyday. He climbed to the treetop, ate the apples, took a nap under the shadow. He loved the tree and the tree loved to play with him. Time went by, the little boy had grow up and he no longer time played around the tree everyday.
One day, tho boy come back to the tree and he looked sad .
“Come and play with me,” the tree asked the boy.
“iam no longer a kid, I do not play around trees anymore,” the boy replied, “I want toys, I need the money to buy them,”.
“Sorry, I have no money, but you can pick all my apples and sell them. So, you will have money,” the tree apple’s said.
The boys was also excited and grabbed all the apples on the three and left happily. The boy never come back after he pick all the apples. The tree was sad.
               One day, the boy who now turned into a man returned and the tree was excited.
“Come on, play with me,” the tree said.
“I don’t have time to play. I have to work for my family. We need the house for shelter. Can you help me?” ask the man.
The tree said, “Sorry, I don’t have any house. But you can chop off my branches to buil your house,”.
So, the man chop off the tree’s branches and left happily. The tree was glad to see him happy, but the man never come back since then. The tree was again lonely and sad.
               One hot summer day, the man return and the tree was delighted.
“Come on, play with me,” ask the tree
“Iam getting old. I want to go sailing to reax my self. Can you give me a boat?” said the man.
“Use my trunk to build your boat. You can sail far away and be happy,” the tree said.
So the man cut the tree’s trunk to make a boat. He went sailing and never showed up for a long time.
               Finnaly, the man returned to many years.
“Sorry my boy, but I don’t anything for you anymore. No more apples for you to sell, no more branch for your house, and no trunk for you make a boat…” the tree said with sad feeling.
“No problem. I don’t have any teeth to a bite. I was have a house for my family, and I too old for sailing anymore,” the man said.
“I really cant give you anything. The only thing left is my dying roots,” the tree said with tears.
“I don’t need much now, just a place to rest. Iam tired after all these years,” the man replied.
“Good! Old tree roots are the best place to lean on the rest. Come, come! Sit down with me and rest,” said the old tree.
The man sat down and the tree was glad and smiled with tears …

This is a story of everyone. The tree’s like our parents. When we were young, we loved to play with our Mum’s and Dad’s. when we grow up we leave them. Sometimes we forget them with our busy and only come to them when we need something and when we have a trouble. But, no matter for our parents, they always be there and give everything they could just to make us happy.

Selasa, 06 Desember 2011

Sisi Lain


Angin malam berlarian kencang, sama seperti mobil-mobil yang sesekali melaju dijalan tol ini. Dan kita berdua juga tak seharusnya duduk disini. Dipinggir jalan tol Bandara Juanda. Kita saling diam, hampir seperti orang yang sama-sama sakit gigi.

Jimmy bergerak dari duduknya, gue lirik, cuman ngambil rokok disaku, lalu mundur, dan bersandar dikaca depan mobil. Tiba-tiba ia terjingkat, pletikan tembakau yang terbakar meloncat ke kaus kuning (yang udah keliatan gak kuning-gak putih) molornya. Lalu kembali diam. Entah kenapa secara kompak kita berdua membiarkan suasana hening bergerak diantara kita. Tapi tak lama kemudian dia angkat bicara.
"Nen,"
"Heh?"
"Sini donk, biar romantis gitu!" katanya sambil cengar-cengir.
Gubrak! Nah loh! Dia ngomong romantis tapi kok serem banget jadinya! hahahaaha. Yaudah deh, turutin aja. Gue mundur sampai tepat disamping duduknya. Matanya memandang lurus dan jauh. Masih aja diem, duduk nangkring kayak patung Unair yang gue lihat hampir tiap hari. Biasanya nih, kalo dia diem gini (gak hiperaktif kayak biasanya), brarti dia mau ngomong sesuatu yang penting. jadi inget dia pertama kali nembak gue dikosan Jogja pake surat. hihiihi!
Tangannya melingkar kepundak belakang gue, membuat semakin dekat dengannya. Tangan itu berhasil membuat hangat punggung gue yang gue perkosa melawan angin dengan hanya menggunakan tanktop tipis warna putih. Lalu Jimmy mencium kening gue. Gue suka pas dia cium kening gue. rasanya tentram banget, ya Tuhan. Lalu dia menghisap rokoknya sekali lagi.
"Nen, merid, yuk!,"
"Hah!" Gue kanget gak karuan. langsung duduk tegak menghadapnya sampai-sampai tangannya terlepas dari pundak gue.
Gue lihat dia. Ternyata wajahnya gak kalah kagetnya kayak gue, tapi dia kaget gara-gara lihat jawaban gue.
"Lo ngomong apa sih?"
"Gue ngajakin lo merid,"
"Lo gak salah?"
"Apanya yang salah?"
Gue diem dengan pertanyaan itu. Gue pandang Jimmy, dari atas sampai bawah. Mencari urat bercanda yang ia sembunyikan. Tapi sia-sia. Gak ketemu.
Sekarang jadinya gue yang diam. Dan lagi-lagi kita saling diam. Sama seperti beberapa menit yang lalu.
Gue mikir kata-kata apa yang harus gue ucapin. Tangan gue merogoh tempat rokok di saku celana jeans yang gue potong pendek lalu diam lagi. Mencari inspirasi kata lewat sebatang tembakau.
"Jim,"
"Ya, Nen?"
Gue diam sejenak, mencoba merangkai kata supaya rapi dan gak bikin dia drop.
"Bukannya gue gak mau, tapi sepertinya kita belom siap buat itu,"
Dia diam, dengerin omongan gue yang gak kepingin gue lanjutin. Tapi dia masih nunggu. Emang gue pikirin. Tungguin aja sampe berkarat gak bakalan gue lanjutin kalo lo gak sambungin duluan.
Tapi kayaknya dia gak mau nungguin.
"Kata siapa kita belom siap? Kita udah ngelalui semuanya berdua selama hampir 3 tahun. Kita jalan menuju puluh-puluhan kota berdua, kita bisa nyelesain sama-sama berdua. Sekarang tinggal satu masalah yang belom kita selesain, Nen. Kita balik keJakarta, dan merid disana. Gue yakin kita bisa," katanya sambil menggenggam tangan gue.

Gue diem beberapa saat. Lalu angkat bicara lagi.
"Sekarang kita lihat kita masing-masing dulu, Jim. Gue selalu bikin masalah dimanapun gue berada yang apada dasarnya bukan kemauan gue. Dan elo. Lo mandi aja kalo pas lo inget doank, keramas pun tunggu kalo rambut udah kumel, itupun lo jarang mau pake shampoo, tapi pake sabun mandi. Belom lagi baju lo yang ganti seminggu sekali. Gue bermasalah dan elo berantakan, gimana kita saling perhatiin satu sama lain, sedang kan buat ngurus diri sendiri aja kita belum bisa".
Pandangan Jimmy tertunduk. Dan saat itu juga gue takut. Takut kalo kata-kata gue tadi nyakitin hatinya. Lalu dia tersenyum kecil. Kali ini senyumnya lain, penuh arti, tapi gue sendiri gak tau artinya.
"Nen, gue emang gak perhatiin diri gue, tapi bukan berarti gue gak bisa perhatiin lo, kan. Buktinya gue selalu bisa jemput lo kerja tepat waktu meskipun gue berangkat tanpa mandi. Gue bisa beliin lo makan tiga kali sehari meskipum saat itu gue belum makan sama sekali. Karena gue berusaha, Nen. Gue tetep akan berusaha sampai kapanpun," katanya pelan, namun cukup jelas dan terekam diotak gue.
"Jimmy, sorry. Gue gak bermaksud bikin lo down kayak gini. Gue sayang sama lo, tapi gue cuman takut gagal," kata gue sambil mengusap pipinya.
Dia meraih telapak tangan gue, lalu diciumnya. Kita masih saling diam. Saling pandang. Udah mirip kayak film taon 70an. Sinar matanya terlihat jelas meski jalan tol remang-remang. Didalamnya begitu jujur apa adanya. Saat ini gue pengen banget bilang, 'ya, gue mau merid sama lo, bila perlu sekarang kita langsung pergi ke Jakarta, trus ke KUA, trus bulan madu yang kesekian kalinya', tapi disisi lain gue takut untuk bilang seperti itu. Gue takut Jimmy gak bertanggung jawab, dan gue takut pulang...
"Jim, gue takut pulang," kata gue pelan.
"Gue temenin, Nen. Gue gak akan biarin lo pulang sendiri. Gue temenin lo sampai lo berada didepan bokap lo, dan gue ngomong kalo gue mau merid sama lo,"
"Lo yakin bisa?"
"Gue selalu berusaha yang terbaik buat lo, Nen,"
Bussseeettt!!! Kata-katanya! Baru kali ini gue denger kata yang beginian dari Jimmy. Bikin gue pengen nangis. Gue peluk dia, sekalian sembunyiin air mata gue. Entah lah, kenapa bisa gue tenang banget berada dipelukannya, meskipun dia jarang mandi, jarang ganti baju, tapi tetep ada sesuatu yang lain yang bikin gue betah lama-lama dipelukannya. Gue cium bahunya tempat dagu gue bersandar, lalu naik ke lehernya yang sedikit tertutup rambutnya yang selalu tak pernah kurang atau lebih dari sepudak. Astaga, gue sayang banget sama dia. Terimakasih Tuhan, udah kasih Jimmy buat aku. Dia memang bukan orang yang sempurna, tapi dia terbaik buat aku, Tuhan, Terimakasih.

“Hahahahahaaha!” tiba-tiba Jimmy ketawa.

“Napa lo?”

“Lo cium-ciumin gue, bikin gue merangsang!” katanya sambil ketawa.

Sialan! Dasar! Ngeres mulu pikirannya! Gak ngerti apa mood gue udah romantis, buyar dah!

“Setan lo!” Gue dorong dia yang masih ketawa-ketawa.

“Nah gimana lagi, lo nya godain gue kayak gitu, nyet,” katanya cengengesan.

“Taik. Otak lo tuh yang ngeres!” kata gue sewot lalu masuk ke mobil.

Jimmy beranjak dari duduknya, tapi dia masuk ke pintu jok belakang. Dia pikir gue supir apa!

“Trus lo suru gue nyupirin gitu. Maksud lo???” protes gue.

“Ssssstttt,” ibu jarinya menyentuh bibir gue, mengisyaratkan agar gue berhenti ngomel-ngomel.

Diciumnya perlahan sesuatu yang tadi ia sentuh dengan ibu jarinya. Begitu lembut, namun dalam, dan ciumannya selalu membuat seluruh persendian gue lemas. Perlahan gerakan itu sedikit lebih cepat dan lebih dalam. Dia tarik gue menuju jok belakang mobil. Angin sekitar yang tadinya dingin menusuk, kini menjadi hangat ketika dia semakin merapatkan gerakan diantara ciumannya. Otak gue terasa tinggi tanpa morfin, dan tubuh gue menjadi hangat tanpa alkohol. Semua terasa begitu hangat disetiap incinya, begitu nikmat disetiap detiknya. Harus gue akui, Jimmy adalah cowok terhebat didunia untuk diajak bercinta semalaman, bahkan untuk bercinta didalam mobil seperti saat ini sekalipun.


*


                Mobil berhenti didepan sebuah rumah tipe 158. Kami saling diam. Saling diam dari beberapa jam yang lalu ketika kita sudah memasuki kota Jakarta. Belum ada dari kita yang beranjak turun dari mobil. Jimmy masih diam, mungkin dia sedang berfikir, atau merangkai kata untuk berbicara pada papa nanti. Yah semoga aja Jimmy dapet wangsit sehingga dia bisa sedikit bijaksana untuk membuang semua kekonyolannya untuk sementara. Jimmy menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mungkin untuk proses rileksasi. Dia mencoba menyembunyikan rasa tegangnya, namun gue tahu betul kalo dia sama takutnya kayak gue. Lalu merapikan rambutnya, menyibakkan dibelakang daun telinganya (untung aja rambutnya dicuci sebelum berangkat tadi). Ia membuka pintu mobil, lalu turun. Memandang rumah sunyi didepannya sebentar, lalu melangkah kearah pintu gue yang masih tertutup karena gue masih duduk mematung dan belum bergerak untuk membukanya. Jimmy merapikan kemeja kotak-kotak biru-merah lamanya yang jarang sekali dia pakai, dan kali ini celana jeansnya gak sobek-sobek. Dan kali ini gue juga pake tanktop dobel kemeja putih biar kelihatan rapi, dan celana jeans gue juga gak sobek-sobek. Gue keluar mobil. Gue takut untuk melangkah masuk kedalam. Tapi jujur aja gue kangen sama rumah gue yang sudah hampir 7 tahun gak gue pulangi, gue kangen sama mama, kangen pelukannya, kangen beliau ingetin gue tiap jam makan, kangen papa, meskipun mungkin ntar beliau gak mau terima gue lagi, gue juga kangen budhe Ima yang selalu bantu-bantu gue, tapi takut.

“Jim, gak jadi aja, deh,” kata gue memegang lengan Jimmy.

Jimmy masih diam. Lalu menoleh ke gue, tersenyum kecil diantara rasa bimbangnya. Kemudian menggenggam tangan gue. Telapak tangan kami ternyata sama-sama dingin, seperti saat kita makan roti isi selay mushroom sapi waktu kita berada di Bali. Kami berjalan mendekat pagar, Jimmy segera membunyikan bel. Seorang wanita berumur 60 tahunan keluar. Itu pembantuku, Budhe Ima, begitu kami sekeluarga memanggilnya karena kami sudah menganggap seperti keluarga kami sendiri.

“Non, Nensi ? Dari mana saja, non? Budhe kangen,” begitu kata Budhe Ima sembari membuka pager.

“Nensi juga kangen sama budhe,” Gue peluk budhe ima yan tingginya sebahuku.

“Papa-mama ada didalam, Non, masuk aja,” kata budhe.

Gue melangkah masuk kedalam rumah, Jimmy masih disamping gue, gandeng tangan dingin gue dengan tangan dinginnya. Gue melewati ruang tamu, tampak kosong. Disofa biru muda itu biasanya gue tiduran dengerin mp3 kalo gak ada kerjaan dirumah. Lalu gue melangkah ke ruang makan. Disana sudah terlihat Papa-mama. Papa terlihat sedikit kaget, tapi kemudian membuang muka. Mama tak kalah kaget, “Nensi?” ucapnya lirih, hampir tak terdengar telinga, namun gue bisa baca bahasa bibirnya. Mama langsung menangis.

“Mau apa kalian kesini?” suara Papa memecah keheningan sementara yang terjadi diruang makan ini.

Gue semakin merasa kecil dengan pertanyaan itu, jantung gue terpompa dengan cepat seakan-akan gue abis menelan pil Dextro terlalu banyak.

“Sebelumnya saya minta maaf, Om. Kedatangan Saya kemari, saya ingin meminta izin untuk menikahi Nensi,” kata Jimmy pelan namun to the point.

Kepala gue pening, hampir mau pingsan, lantai sekitar tampak berombak. Semua terlihat kabur. Bergerak-gerak tak terkendali. Keringat dingin keluar semua, kaki terasa lemas, nafas terasa berat. Mungkin tanpa Jimmy disamping gue, gue sudah jatuh lemas atau bahkan berlari keluar dan bersumpah takkan sanggup tuk kembali lagi. Namun genggaman tangannya begitu memberi ammunisi disetiap persendian gue yang kini sedang melemah hingga sampai kini masih bisa tegak berdiri. Mungkin pada detik ini Tuhan tunjukin ke gue, sisi lain dari searang Jimmy. Jimmy yang dekil, heboh, gila, konyol, aneh, lucu, yang benci banget sama bangku sekolah, dan berantakan minta ampun, namun kali ini Jimmy yang gue lihat sangat lain. Jimmy yang gue lihat saat ini begitu tenang, kalem, tegas, sopan, dan bertanggung jawab. Jimmy masih menggenggam tangan gue. Mungkin tanpa genggaman tangan Jimmy, gue takkan mampu berdiri tegak disini.

*

Sabtu, 03 Desember 2011

Ketika Kau Menggenggam Tanganku Disini

          Mata itu menatap tajam, menelusuri setiap rasa sesak dipersendianku, seakan berkata "Jangan menangis, aku tak sanggup melihatnya," . Bibirnya tak berkata apapun, namun sentuhannya cukup menjelaskan ia tak sanggup untuk melangkah lebih jauh lagi . Ku tatap ganti matanya . begitu dalam, mencari kesungguhan tentang janji setianya dulu. namun tak mampu ku berlama-lama, dan ku lempar kesekitar . Semua tampak hitam-putih, begitu hening tanpa suara . Hanya gerakan angin yang mengisyaratkan mereka ada . Dan diantara mereka, kami berdiri. ku coba menatapnya kembali, terasa basah tanpa suara. Diraihnya tanganku. digenggamnya kedinginan yang membelengguku, menyalurkan energi hangat tubuhnya. Kami berdua masih saling diam, tanpa kata, tanpa suara. namun dari setiap inci gerakan kami, kami sudah saling tahu, kami masih saling mencintai. Tangan itu menghangatkan telapak tanganku, mencairkan hatiku yang sempat membeku beberapa hari yang lalu. Genggaman tangannya seolah memberi kalsium pada setiap tulang dan persendianku yang hampir runtuh. Entahlah bagaimana aku harus tanpanya, apa aku mampu berdiri tanpa pegangan tangannya. Aku membutuhkan genggaman ini untuk menumbuhkan harapan disetiap hembus nafasku. Aku butuh dia, masih butuh dia, dan akan selalu membutuhkannya, Tuhan . Suara kapal itu memecahkan warna hitam putih diantara kami, merubah keheningan yang lalu menjadi riuh renyah. Dia segera memelukku. begitu erat. Hingga hangat tubuhnya terasa mengalir bersama denyut nadiku. Dan akan selalu mengalir disini meski dia telah berdiri diatas lautan menuju hidup barunya disana.