Nenek dan
Abu Dalam Guci
Pagi itu adalah hari istimewa bagi
seorang Nenek berusia 71 tahun yang tinggal seorang diri dirumah kayu
peninggalan suaminya. Setiap pagi yang selalu ia lakukan adalah menyapa foto
yang ada disebelah ranjang kayu yang sudah mulai lapuk. Foto dirinya dan sang
suami tercinta. Foto itu seolah-olah memberinya semangat . Tangan pucat dan
keriput itu merapa kaca pigora kayu cokelat dengan tulisan dibawahnya “Crish
& Laura”. Ia menyentuh senyum diwajah sang suami, menciptakan sesungging
senyum terangkat di pipi wanita beruban itu. Lantas ia meletakkan kembali pada
tempatnya dan mengambil dompet kulit milik suaminya dulu yang didalamnya terisi
oleh beberapa lembar dollar, uang sisa kiriman anaknya, dan ia beranjak untuk pergi
berbelanja. Tak pernah lupa, tangannya memasukkan sebuah guci bening yang
berada disebelah foto tadi kedalam tasnya kemanapun ia melangkah pergi, tas
pemberian suaminya di ulang tahun pernikahan emas.
*
Mathew mengamati wajah Sara, begitu
pucat, lalu berhenti di mata bulatnya. Mata itu basah, sudah benar-benar habis
semangat yang ada didalam sana.
“Selamat
hari Valentine, sayang,” Mathew berusaha berbicara tegar kepada istrinya yang
sudah terlihat seperti mayat hidup.
Mathew
menggenggam tangan Sara yang tampaknya berusaha menggapai tangannya namun tak
sanggup. Tersungging senyum kecil dengan usaha yg cukup kuat diwajah Sara. Ia
tahu, Istrinya bisa kapanpun meninggal karena kanker otak yang dialaminya 2
tahun terakhir ini, maka setiap hari dan setiap detik ia berusaha untuk memberi
yang terbaik untuk istrinya. Dan hari ini adalah hari Valentine, ia ingin
memberi sesuatu yg istimewa untuk istri yang sudah dinikahinya selama 8 tahun
diumurnya ke 19 tahun. Tapi ia sudah tak memiliki cukup uang lagi untuk membeli
apapun, bahkan untuk membeli makanan sehari-hari ia juga harus susah payah
mencari, dan mereka juga berhenti melakukan pengobatan setelah beberapa tahun
pengobatan yang menghabiskan banyak uang namun tak memberi hasil yg terang.
Tapi ia terus berusaha mencari jalan keluarnya.
“Sayang,
aku keluar sebentar, ya, aku akan kembali secepatnya,” kata Mathew lantas
mencium kening wanita berambut pirang yang sudah menipis dan terbaring ditempat
tidur.
Wanita
berumur 26 tahun itu menatap mata suaminya dalam-dalam, seakan ada suatu
kekhawatiran didalamnya.
*
Laura melangkah hati-hati turun dari
trotoar tepat dibawah lampu penyeberangan. Penghitung detik lampu hijau untuk
penyeberang jalan masih puluhan detik lagi. Hari ini adalah hari spesial. Bukan
karena hari ini adalah hari Valentine, semenjak suaminya meninggal dalam
tidurnya 3 tahun yang lalu, Laura tak pernah lagi mengingat hari Valentine.
Tapi hari ini adalah hari pernikahannya yang ke 54. Dan dengan sengaja ia
memasak Tortilla kesukaan suaminya. Setiap ulang tahun pernikahan, mereka
selalu memasak bersama untuk makanan khas Amerika Utara itu. Tanpa sadar ia
mengangkat jemari tangannya dimana dijari manis itu melingkar cincin kawin
mereka. Lalu ia tersenyum lemah. Tanpa ia sadari dari kejauhan ada seorang
laki-laki berumur hampir 30 tahunan sedang mengamati gerak-geriknya. Laki-laki
berambut ikal cokelat keemasan itu perlahan menghampirinya diam-diam.
*
Mathew mengamati seorang nenek
berumur 70 tahunan yang berada dibawah lampu penyeberangan. Nenek berambut
pendek penuh uban itu sedang membawa tas belanja ditangan kanannya dan tas
kecil berwarna pink ditangan kirinya. Tas situ terlihat mahal dengan logamnya
yang masih berkilau. Dia berfikir pasti disana terdapat lembaran dollar yang
bisa membeli beberapa keperluannya selama beberapa hari. Berkali-kali terbesit
dalam fikirannya untuk merampas tas itu dari nenek tua yang terlihat sangat
lemah, lantas berlari sejauh mungkin. Namun sekali lagi hati nurani nya berkata
untuk jangan melakukannya. Pikiran-pikiran itu berputar-putar diotaknya.
Terlalu rumit untuk diputuskan, namun ia sangat mencintai istrinya, ia ingin
memberi semua yang terbaik untuk istrinya yang mungkin bisa saja besok sudah
meninggal. Ia segera bergerak mendekati wanita tua itu. Dengan cepat tangannya
menarik tas yang ada dibahu kiri wanita tua yang sedari tadi diamatinya. Namun
tak seperi yang ia pikirkan sebelumnya, wanita itu langsung dengan kuat mempertahankan
tasnya. Terjadilah adegan tarik-menarik untuk sepersekian detik. Ia melihat
tangan wanita itu merogoh kedalam tasnya. Ia berfikir, pasti ia mengambil
dompet yang ada didalamnya. Ia mencegahnya dengan menggoyang-goyangkan kasar
pergelangan tangan wanita pemilik tas itu, tapi wanita tua itu bersikeras. Dan
tampaknya bukan dompet yang ia cari sedari tadi, tapi sebuah benda bening yang
tak berarti. Beberapa wanita setengah baya disekitar sudah berteriak-teriak
“perampokan!” seorang wanita juga ada yang memukul-mukul punggungnya dengan
tasnya. Mathew hendak berlari tanpa tas itu, namun wanita tua itu sudah melepaskan
genggamannya dari tas pink nya. Lalu Mathew berlari sekuat tenaga berlari
ditrotoar dengan tas pink digenggaman tangannya, menerabas pejalan kaki
lainnya. Dan lari nya berakhir pada batasan trotoar dimana terdapat pertigaan
jalan raya dan sebuah mobil kencang melintas tepat dihadapannya. Tersungkur,
pandangannya semakin kabur, penafasannya terasa berat, pikirannya kosong
sejenak, lalu hanya ada Sara istrinya yang tergambar berbaring diranjang
menunggunya, Sara yang nantinya sebagai hadiah Valentine akan ia belikan
obat-obatan dari resep yang ia simpan namun belum ia beli tanpa ada biaya, Sara
yang tanpa ia tahu sudah pergi untuk selamanya beberapa menit yang lalu.
Beberapa
orang mengerumuninya, lalu belasan orang, dan puluhan orang, namun dalam pandangannya
mereka benar-benar sudah gelap. Dan disusul oleh polisi yang berjongkok
disebelahnya.
Genggamannya
pada tas itu kian melemah, dengan susah payah ia berucap tanpa ada kata keluar,
“Sara, aku mencintaimu,”.
Lantas
polisi tak bisa lagi mendeteksi nafas dan denyut nadi ditubuhnya.
*
Laura menggenggam guci yang ada
didalam tas pink nya. Tas kado ulang tahun pernikahan terakhir dari suaminya
kini sudah dirampas orang. Yang tersisa dari dalam tas itu hanya guci dengan
kaca bening yang ia genggang sekarang. Tulang kepala tua nya terbentur tiang
lampu penyeberangan jalan dengan sangat keras saat ia melepaskan genggamannya
dari tas yang direbut perampok muda itu. Seorang wanita setengah baya mendekat,
mengangkat kepala Laura yang tergeletak ditrotar, menyandarkan kepala Laura
pada lengannya.
“Aku sudah
memanggilkan ambulans, Bu, sebentar lagi mereka akan datang,” kata Wanita
berambut coklat lurus itu.
Laura sudah tak mampu berkata apapun, benturan itu cukup keras untuk wanita tua sepertinya. Ia hanya balas tersenyum lalu berusaha memeluk dengan erat guci ditangannya tadi. Angin jalanan meniup rambut tipisnya. Rasanya begitu ringan, terasa ringan seperti dilahirkan kembali. Depan matanya terlihat sinar yang menyilaukan, samar-samar terlihat siluet orang yang sangat ingin ia jumpai . Siluet itu mendekat perlahan, menutup sinar silau yang tadi ada dihadapannya . Lalu perlahan silauan itu meredup-meredup, dan gelap. Lalu kosong.
‘Chris, aku
merindukanmu’ rintihnya dalam hati.
Lantas ia
menghembuskan nafas terakhirnya dengan guci berisi abu jenazah Chris, suaminya
dalam pelukannya.
***
50% fiksi, 50% true story
Tidak ada komentar:
Posting Komentar