Jumat, 30 November 2012

Nenek dan Abu Dalam Guci



Nenek dan Abu Dalam Guci
            Pagi itu adalah hari istimewa bagi seorang Nenek berusia 71 tahun yang tinggal seorang diri dirumah kayu peninggalan suaminya. Setiap pagi yang selalu ia lakukan adalah me­nyapa foto yang ada disebelah ranjang kayu yang sudah mulai lapuk. Foto dirinya dan sang suami tercinta. Foto itu seolah-olah memberinya semangat . Tangan pucat dan keriput itu merapa kaca pigora kayu cokelat dengan tulisan dibawahnya “Crish & Laura”. Ia menyentuh senyum diwajah sang suami, menciptakan sesungging senyum terangkat di pipi wanita beruban itu. Lantas ia meletakkan kembali pada tempatnya dan mengambil dompet kulit milik suaminya dulu yang didalamnya terisi oleh beberapa lembar dollar, uang sisa kiriman anaknya, dan ia beranjak untuk pergi berbelanja. Tak pernah lupa, tangannya memasukkan sebuah guci bening yang berada disebelah foto tadi kedalam tasnya kemanapun ia melangkah pergi, tas pemberian suaminya di ulang tahun pernikahan emas.
*
            Mathew mengamati wajah Sara, begitu pucat, lalu berhenti di mata bulatnya. Mata itu basah, sudah benar-benar habis semangat yang ada didalam sana.
“Selamat hari Valentine, sayang,” Mathew berusaha berbicara tegar kepada istrinya yang sudah terlihat seperti mayat hidup.
Mathew menggenggam tangan Sara yang tampaknya berusaha menggapai tangannya namun tak sanggup. Tersungging senyum kecil dengan usaha yg cukup kuat diwajah Sara. Ia tahu, Istrinya bisa kapanpun meninggal karena kanker otak yang dialaminya 2 tahun terakhir ini, maka setiap hari dan setiap detik ia berusaha untuk memberi yang terbaik untuk istrinya. Dan hari ini adalah hari Valentine, ia ingin memberi sesuatu yg istimewa untuk istri yang sudah dinikahinya selama 8 tahun diumurnya ke 19 tahun. Tapi ia sudah tak memiliki cukup uang lagi untuk membeli apapun, bahkan untuk membeli makanan sehari-hari ia juga harus susah payah mencari, dan mereka juga berhenti melakukan pengobatan setelah beberapa tahun pengobatan yang menghabiskan banyak uang namun tak memberi hasil yg terang. Tapi ia terus berusaha mencari jalan keluarnya.
“Sayang, aku keluar sebentar, ya, aku akan kembali secepatnya,” kata Mathew lantas mencium kening wanita berambut pirang yang sudah menipis dan terbaring ditempat tidur.
Wanita berumur 26 tahun itu menatap mata suaminya dalam-dalam, seakan ada suatu kekhawatiran didalamnya.
*
            Laura melangkah hati-hati turun dari trotoar tepat dibawah lampu penyeberangan. Penghitung detik lampu hijau untuk penyeberang jalan masih puluhan detik lagi. Hari ini adalah hari spesial. Bukan karena hari ini adalah hari Valentine, semenjak suaminya meninggal dalam tidurnya 3 tahun yang lalu, Laura tak pernah lagi mengingat hari Valentine. Tapi hari ini adalah hari pernikahannya yang ke 54. Dan dengan sengaja ia memasak Tortilla kesukaan suaminya. Setiap ulang tahun pernikahan, mereka selalu memasak bersama untuk makanan khas Amerika Utara itu. Tanpa sadar ia mengangkat jemari tangannya dimana dijari manis itu melingkar cincin kawin mereka. Lalu ia tersenyum lemah. Tanpa ia sadari dari kejauhan ada seorang laki-laki berumur hampir 30 tahunan sedang mengamati gerak-geriknya. Laki-laki berambut ikal cokelat keemasan itu perlahan menghampirinya diam-diam.
*
            Mathew mengamati seorang nenek berumur 70 tahunan yang berada dibawah lampu penyeberangan. Nenek berambut pendek penuh uban itu sedang membawa tas belanja ditangan kanannya dan tas kecil berwarna pink ditangan kirinya. Tas situ terlihat mahal dengan logamnya yang masih berkilau. Dia berfikir pasti disana terdapat lembaran dollar yang bisa membeli beberapa keperluannya selama beberapa hari. Berkali-kali terbesit dalam fikirannya untuk merampas tas itu dari nenek tua yang terlihat sangat lemah, lantas berlari sejauh mungkin. Namun sekali lagi hati nurani nya berkata untuk jangan melakukannya. Pikiran-pikiran itu berputar-putar diotaknya. Terlalu rumit untuk diputuskan, namun ia sangat mencintai istrinya, ia ingin memberi semua yang terbaik untuk istrinya yang mungkin bisa saja besok sudah meninggal. Ia segera bergerak mendekati wanita tua itu. Dengan cepat tangannya menarik tas yang ada dibahu kiri wanita tua yang sedari tadi diamatinya. Namun tak seperi yang ia pikirkan sebelumnya, wanita itu langsung dengan kuat mempertahankan tasnya. Terjadilah adegan tarik-menarik untuk sepersekian detik. Ia melihat tangan wanita itu merogoh kedalam tasnya. Ia berfikir, pasti ia mengambil dompet yang ada didalamnya. Ia mencegahnya dengan menggoyang-goyangkan kasar pergelangan tangan wanita pemilik tas itu, tapi wanita tua itu bersikeras. Dan tampaknya bukan dompet yang ia cari sedari tadi, tapi sebuah benda bening yang tak berarti. Beberapa wanita setengah baya disekitar sudah berteriak-teriak “perampokan!” seorang wanita juga ada yang memukul-mukul punggungnya dengan tasnya. Mathew hendak berlari tanpa tas itu, namun wanita tua itu sudah melepaskan genggamannya dari tas pink nya. Lalu Mathew berlari sekuat tenaga berlari ditrotoar dengan tas pink digenggaman tangannya, menerabas pejalan kaki lainnya. Dan lari nya berakhir pada batasan trotoar dimana terdapat pertigaan jalan raya dan sebuah mobil kencang melintas tepat dihadapannya. Tersungkur, pandangannya semakin kabur, penafasannya terasa berat, pikirannya kosong sejenak, lalu hanya ada Sara istrinya yang tergambar berbaring diranjang menunggunya, Sara yang nantinya sebagai hadiah Valentine akan ia belikan obat-obatan dari resep yang ia simpan namun belum ia beli tanpa ada biaya, Sara yang tanpa ia tahu sudah pergi untuk selamanya beberapa menit yang lalu.
Beberapa orang mengerumuninya, lalu belasan orang, dan puluhan orang, namun dalam pandangannya mereka benar-benar sudah gelap. Dan disusul oleh polisi yang berjongkok disebelahnya.
Genggamannya pada tas itu kian melemah, dengan susah payah ia berucap tanpa ada kata keluar, “Sara, aku mencintaimu,”.
Lantas polisi tak bisa lagi mendeteksi nafas dan denyut nadi ditubuhnya.
*
            Laura menggenggam guci yang ada didalam tas pink nya. Tas kado ulang tahun pernikahan terakhir dari suaminya kini sudah dirampas orang. Yang tersisa dari dalam tas itu hanya guci dengan kaca bening yang ia genggang sekarang. Tulang kepala tua nya terbentur tiang lampu penyeberangan jalan dengan sangat keras saat ia melepaskan genggamannya dari tas yang direbut perampok muda itu. Seorang wanita setengah baya mendekat, mengangkat kepala Laura yang tergeletak ditrotar, menyandarkan kepala Laura pada lengannya.
“Aku sudah memanggilkan ambulans, Bu, sebentar lagi mereka akan datang,” kata Wanita berambut coklat lurus itu.

Laura sudah tak mampu berkata apapun, benturan itu cukup keras untuk wanita tua sepertinya. Ia hanya balas tersenyum lalu berusaha memeluk dengan erat guci ditangannya tadi. Angin jalanan meniup rambut tipisnya. Rasanya begitu ringan, terasa ringan seperti dilahirkan kembali. Depan matanya terlihat sinar yang menyilaukan, samar-samar terlihat siluet orang yang sangat ingin ia jumpai . Siluet itu mendekat perlahan, menutup sinar silau yang tadi ada dihadapannya . Lalu perlahan silauan itu meredup-meredup, dan gelap. Lalu kosong.
‘Chris, aku merindukanmu’ rintihnya dalam hati.
Lantas ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan guci berisi abu jenazah Chris, suaminya dalam pelukannya.

***

50% fiksi, 50% true story

Tidak ada komentar:

Posting Komentar