Tampilkan postingan dengan label Cerpen Punya Viera Ali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Punya Viera Ali. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 November 2012

Nenek dan Abu Dalam Guci



Nenek dan Abu Dalam Guci
            Pagi itu adalah hari istimewa bagi seorang Nenek berusia 71 tahun yang tinggal seorang diri dirumah kayu peninggalan suaminya. Setiap pagi yang selalu ia lakukan adalah me­nyapa foto yang ada disebelah ranjang kayu yang sudah mulai lapuk. Foto dirinya dan sang suami tercinta. Foto itu seolah-olah memberinya semangat . Tangan pucat dan keriput itu merapa kaca pigora kayu cokelat dengan tulisan dibawahnya “Crish & Laura”. Ia menyentuh senyum diwajah sang suami, menciptakan sesungging senyum terangkat di pipi wanita beruban itu. Lantas ia meletakkan kembali pada tempatnya dan mengambil dompet kulit milik suaminya dulu yang didalamnya terisi oleh beberapa lembar dollar, uang sisa kiriman anaknya, dan ia beranjak untuk pergi berbelanja. Tak pernah lupa, tangannya memasukkan sebuah guci bening yang berada disebelah foto tadi kedalam tasnya kemanapun ia melangkah pergi, tas pemberian suaminya di ulang tahun pernikahan emas.
*
            Mathew mengamati wajah Sara, begitu pucat, lalu berhenti di mata bulatnya. Mata itu basah, sudah benar-benar habis semangat yang ada didalam sana.
“Selamat hari Valentine, sayang,” Mathew berusaha berbicara tegar kepada istrinya yang sudah terlihat seperti mayat hidup.
Mathew menggenggam tangan Sara yang tampaknya berusaha menggapai tangannya namun tak sanggup. Tersungging senyum kecil dengan usaha yg cukup kuat diwajah Sara. Ia tahu, Istrinya bisa kapanpun meninggal karena kanker otak yang dialaminya 2 tahun terakhir ini, maka setiap hari dan setiap detik ia berusaha untuk memberi yang terbaik untuk istrinya. Dan hari ini adalah hari Valentine, ia ingin memberi sesuatu yg istimewa untuk istri yang sudah dinikahinya selama 8 tahun diumurnya ke 19 tahun. Tapi ia sudah tak memiliki cukup uang lagi untuk membeli apapun, bahkan untuk membeli makanan sehari-hari ia juga harus susah payah mencari, dan mereka juga berhenti melakukan pengobatan setelah beberapa tahun pengobatan yang menghabiskan banyak uang namun tak memberi hasil yg terang. Tapi ia terus berusaha mencari jalan keluarnya.
“Sayang, aku keluar sebentar, ya, aku akan kembali secepatnya,” kata Mathew lantas mencium kening wanita berambut pirang yang sudah menipis dan terbaring ditempat tidur.
Wanita berumur 26 tahun itu menatap mata suaminya dalam-dalam, seakan ada suatu kekhawatiran didalamnya.
*
            Laura melangkah hati-hati turun dari trotoar tepat dibawah lampu penyeberangan. Penghitung detik lampu hijau untuk penyeberang jalan masih puluhan detik lagi. Hari ini adalah hari spesial. Bukan karena hari ini adalah hari Valentine, semenjak suaminya meninggal dalam tidurnya 3 tahun yang lalu, Laura tak pernah lagi mengingat hari Valentine. Tapi hari ini adalah hari pernikahannya yang ke 54. Dan dengan sengaja ia memasak Tortilla kesukaan suaminya. Setiap ulang tahun pernikahan, mereka selalu memasak bersama untuk makanan khas Amerika Utara itu. Tanpa sadar ia mengangkat jemari tangannya dimana dijari manis itu melingkar cincin kawin mereka. Lalu ia tersenyum lemah. Tanpa ia sadari dari kejauhan ada seorang laki-laki berumur hampir 30 tahunan sedang mengamati gerak-geriknya. Laki-laki berambut ikal cokelat keemasan itu perlahan menghampirinya diam-diam.
*
            Mathew mengamati seorang nenek berumur 70 tahunan yang berada dibawah lampu penyeberangan. Nenek berambut pendek penuh uban itu sedang membawa tas belanja ditangan kanannya dan tas kecil berwarna pink ditangan kirinya. Tas situ terlihat mahal dengan logamnya yang masih berkilau. Dia berfikir pasti disana terdapat lembaran dollar yang bisa membeli beberapa keperluannya selama beberapa hari. Berkali-kali terbesit dalam fikirannya untuk merampas tas itu dari nenek tua yang terlihat sangat lemah, lantas berlari sejauh mungkin. Namun sekali lagi hati nurani nya berkata untuk jangan melakukannya. Pikiran-pikiran itu berputar-putar diotaknya. Terlalu rumit untuk diputuskan, namun ia sangat mencintai istrinya, ia ingin memberi semua yang terbaik untuk istrinya yang mungkin bisa saja besok sudah meninggal. Ia segera bergerak mendekati wanita tua itu. Dengan cepat tangannya menarik tas yang ada dibahu kiri wanita tua yang sedari tadi diamatinya. Namun tak seperi yang ia pikirkan sebelumnya, wanita itu langsung dengan kuat mempertahankan tasnya. Terjadilah adegan tarik-menarik untuk sepersekian detik. Ia melihat tangan wanita itu merogoh kedalam tasnya. Ia berfikir, pasti ia mengambil dompet yang ada didalamnya. Ia mencegahnya dengan menggoyang-goyangkan kasar pergelangan tangan wanita pemilik tas itu, tapi wanita tua itu bersikeras. Dan tampaknya bukan dompet yang ia cari sedari tadi, tapi sebuah benda bening yang tak berarti. Beberapa wanita setengah baya disekitar sudah berteriak-teriak “perampokan!” seorang wanita juga ada yang memukul-mukul punggungnya dengan tasnya. Mathew hendak berlari tanpa tas itu, namun wanita tua itu sudah melepaskan genggamannya dari tas pink nya. Lalu Mathew berlari sekuat tenaga berlari ditrotoar dengan tas pink digenggaman tangannya, menerabas pejalan kaki lainnya. Dan lari nya berakhir pada batasan trotoar dimana terdapat pertigaan jalan raya dan sebuah mobil kencang melintas tepat dihadapannya. Tersungkur, pandangannya semakin kabur, penafasannya terasa berat, pikirannya kosong sejenak, lalu hanya ada Sara istrinya yang tergambar berbaring diranjang menunggunya, Sara yang nantinya sebagai hadiah Valentine akan ia belikan obat-obatan dari resep yang ia simpan namun belum ia beli tanpa ada biaya, Sara yang tanpa ia tahu sudah pergi untuk selamanya beberapa menit yang lalu.
Beberapa orang mengerumuninya, lalu belasan orang, dan puluhan orang, namun dalam pandangannya mereka benar-benar sudah gelap. Dan disusul oleh polisi yang berjongkok disebelahnya.
Genggamannya pada tas itu kian melemah, dengan susah payah ia berucap tanpa ada kata keluar, “Sara, aku mencintaimu,”.
Lantas polisi tak bisa lagi mendeteksi nafas dan denyut nadi ditubuhnya.
*
            Laura menggenggam guci yang ada didalam tas pink nya. Tas kado ulang tahun pernikahan terakhir dari suaminya kini sudah dirampas orang. Yang tersisa dari dalam tas itu hanya guci dengan kaca bening yang ia genggang sekarang. Tulang kepala tua nya terbentur tiang lampu penyeberangan jalan dengan sangat keras saat ia melepaskan genggamannya dari tas yang direbut perampok muda itu. Seorang wanita setengah baya mendekat, mengangkat kepala Laura yang tergeletak ditrotar, menyandarkan kepala Laura pada lengannya.
“Aku sudah memanggilkan ambulans, Bu, sebentar lagi mereka akan datang,” kata Wanita berambut coklat lurus itu.

Laura sudah tak mampu berkata apapun, benturan itu cukup keras untuk wanita tua sepertinya. Ia hanya balas tersenyum lalu berusaha memeluk dengan erat guci ditangannya tadi. Angin jalanan meniup rambut tipisnya. Rasanya begitu ringan, terasa ringan seperti dilahirkan kembali. Depan matanya terlihat sinar yang menyilaukan, samar-samar terlihat siluet orang yang sangat ingin ia jumpai . Siluet itu mendekat perlahan, menutup sinar silau yang tadi ada dihadapannya . Lalu perlahan silauan itu meredup-meredup, dan gelap. Lalu kosong.
‘Chris, aku merindukanmu’ rintihnya dalam hati.
Lantas ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan guci berisi abu jenazah Chris, suaminya dalam pelukannya.

***

50% fiksi, 50% true story

Hukuman Sang K-Pop



HUKUMAN  SANG  K-POP

               Ya ampuuuunnn… Nih orang pagi-pagi stel tipi kenceng banget, sih! Masih jam delapan pula! Ya’elah, K-Pop pula lagunya!
“Hadoooohhhh, aku bettle nih pake Khasmir, mampus!”
               Aku mkengambil MP4 mini biru, langsung sambungin ke salon kecil tapi manteb yang dipasang bunda di kamarku. Niat nya mau tidur lagi, tapi berisik juga, hufffttt… repotnya hidup dijaman K-Pop!
“Nduuukkk!” suara bunda dibalik pintu, malas-malasan aku berjalan menuju pintu.
“Apa, Bun?”
“Kamu pagi-pagi nyetel lagu beginian, gak berisik apa? The Beatles, kek, Abba, kek, berisik tau!”
“Sebelah rumah juga nyetel lagu K-Pop kenceng banget, sebel, Bun!”
“Iya, sih. Bunda juga masa tertarik sama lagu kayak gitu,”
“Lah maka dari itu,”
“Ya, kamu juga jangan ikutan nyetel lagu yang kenceng juga!”
“Iya-iya,”
               Terpaksa mengalah. Sedihnya. Tak apa lah. Ganti puter lagu Coldplay, Bunda juga suka, pasti gak ngomel. Tapi teteeep, volume harus tak terkalahkan!

*

               Kampus yang panas! Sepertinya kulitku sudah berubah jadi tempe yang tak perlu digoreng lagi. Mana pada berisik pula, nyanyi-nyanyi gak jelas.
“lagu apa’an sih?” tanyaku pada teman sebelah.
“Hah? Nggak tau? Aduuuh, kemana aja kamu, nenk” cewek berambut pirang karena cat rambut itu mulai sok tau.
Oke, aku memang gak tau, tapi aku yakin itu lagu ala K-Pop yang sekarang lagi kebetulan booming.
“Ini lagunya keresbelle!” lanjutnya lagi.
Nah loh, bener kata hati ku tadi!
“Ooo, keresbelle, aku tau itu. Yang personilnya gondrong-gondrong berkumis semacam Queen kan?” kataku asal.
“Hmmm… selalu deh!” sahutnya sewot, jadi pengen bikin dia lebih sewot lagi.
“Bukan kayak Queen, ya? Ato kayak Krush gitu?”
“Ah, tau ah!” kata Miss Korea itu sewot.
Yesss!!! Berhasil!!! Akhirnya dia sewot beneran!!!

*

               Tugas beres semua, sekarang tinggal dengerin Little Wing aransemen nya SRV, biar adem otakku . Suara gitarnya khas banget, seakan-akan sengaja senarnya dikendorin, ato apalah, gak faham aku, yang pasti suara gitar SRV itu sensual banget! Tiba-tiba suara sebelah rumah nyetel lagu pake bahasa Korea berdisko!
“Bussseeettt!!! Demam K-Pop banget nih tetangga!” kataku dengan suara keras.
Apa sih yang bikin mereka suka? Secara ya, bahasa aja udah pasti mereka gak tau artinya,bahkan nama-nama artisnya aja susah banget dilidah kita ngucapinnya. Cowok cakep itu yang bisa maen gitar kayak Jimmy Page ato main bola kayak Kaka, bukan yang joget-joget keroyokan dipanggung kayak mau tawuran! Astaga! Itu bukan music Indonesia. Musik Indonesia itu kayak Iwan Fals, Slank, Gigi, Peterpan, kenapa jadi rusak ke music Korea gini sih? Padahal Indonesia juga pnya musisi legend di dunia, Tielman Brother, tapi kenapa masih sedikit yang apresiasi? Ya Ampuuunnn…
“Aku Bettle lagi nih sama Dragonforce, mumpung Bunda gak ada dirumah! Come’on Uncle Herman Lee, Destroy them!”

*

               Tumben nih, pagi-pagi gak ada yang nyetel lagu K-Pop kenceng-kenceng? Tiap pagi kayak begini kan nyaman dikuping.
               Aku berjalan menuju ruang makan . Melewati ruang tengah dimana Bunda lagi asik-asiknya nonton infotaiment pagi. Beliau menoleh ketika mendengar langkahku.
“Nduk, ini loh, Ariel udah bebas,”
“Loh, iya tah?”
“Iya, kapan hari. Ini lagu baru nya keluar, bagus, nduk. Bunda download kan, ya?”
“Udah dengerin, Bunda?”
“Udah, tadi diputer disini. Nama band barunya Noah,”
“Oke, Bunda!!! Secepatnya download!!!”
               Syukurlah, Tuhan. Akhirnya Ariel keluar dari penjara. Musik Indonesia segera terselamatkan. Siap-siap ya buat K-Pop bakal hilang bau nya dari peradaban. Peterpan adalah Coldplay dan Oasis nya Indonesia. Welcome Noah, save our music right now! Berilah hukuman untuk sang K-Pop!

*

Sabtu, 29 September 2012

Ibu itu (tidak) Sempurna



‘Kriiiinggg…’
Bel istirahat sekolah berbunyi. Sebagian anak berhambur keluar kelas. Satria, anak laki-laki yg duduk dikelas 2 SMA tak turut serta berhambur keluar kelas seperti teman-temannya . Ia masih menuntaskan soal-soal dibukunya. Coretan-coretan angka dikertas buramnya masih ia mainkan . Matematika bab ini membuatnya benar-benar penasaran.
“Istirahat dulu, Sat” kata laki-laki teman sebangkunya.
“Oh, iya. Kamu duluan aja, aku bawa makanan dari rumah kok,” Satria menoleh sebentar pada pemilik suara tadi, lalu kembali pada jajaran angka diatas mejanya .
“Oke, gue kekantin dulu, sob”
“Oke”
Satria meletakkan lembaran buramnya diantara buku-buku soal nya. Tangannya meraih bekal dilaci bangku.
‘Lupa gak bawa minum’ pikirnya .
Ia melangkah menuju kantin. Lalu langkahnya terhenti . Ia mendengar segerombolan anak laki-laki yang notabe nya paling dikagumi disekolah tampak nya sedang berseloroh dengan keras dengan tujuan tertentu.
“Eh, kemaren malem, gue sama Edo lihat ada bencong kena razia, bro!” kata Nino, anak yang selalu menjadi seorang yang paling berkuasa disana, tentang uang, tentang wanita, tentang teman-teman, mungkin tidak tentang akademi, murid yang paling dikagumi oleh murid-murid wanita disekolah.
“Iya, bener banget! Dan sepertinya, gue ada kenal sama salah satu bencongnya, bro!” sahut Edo.
“Gak salah lagi! Tuh bencong pasti ibunyaaaa……….” tambah Nino sambil melirik ditempat Satria berdiri.
Satria melangkah cepat kearah Nino dan melemparkan kepalan tangannya tepat di tulang pipi Nino, membuatnya jatuh oleng. Teman-teman Nino berusaha menghalangi, tapi dengan perlawanan seadanya tangan satria kesana-kemari membalas pukulan teman-teman Nino, lalu pukulannya kembali terfokus pada Nino. Keributan itu langsung menyita perhatian guru yang ada disekitar lokasi. Seorang guru laki-laki setengah baya berusaha melerai dibantu oleh satpam-satpam sekolah yang bertindak sigap.
“Lu udah berkali-kali menghina ibu gue, brengsek lu!” suara Satria yang begitu keras membuat puluhan murid yang ada disekitar terpaku . Satria yang pendiam kini terlihat jauh lebih menyeramkan dari preman jalanan.
“Udah-udah, sekarang bawa mereka keruang BP, pak” kata guru berperawakan angkatan laut itu kepada satpam-satpam.
“Kenapa kamu seperti it, Satria?” Tanya wanita cantik berusia dua puluh dua tahun yang berprofesi sebagai guru BP.
Satria diam saja. Tidak menjawab. Begitu pula murid yang lainnya. Beberapa guru yang ada disana mempunyai alibi yang sama dalam pikirannya, namun mereka hanya ingin mendengar langsung dari mereka yang bersangkutan.
“Saya sudah memanggil orang tua kalian untuk datang kesini, dan saya terpaksa membei skors pada kalian semua,” tambah wanita berkacamata dengan frame merah itu.

*

               Ruang tamu itu begitu hening. Rumah berukuran 7x9 meter itu benar-benar mendadak sunyi. Satria duduk tertunduk disofa lama ruang tamunya. Ibunya melangkah dari teras depan yang memajang lemari etalase kaca berisi makanan yg ia jual setiap hari, membawa segelas es teh ditangannya . Lalu duduk disebelah Satria yg masih tertuduk penuh penyesalan.
“Diminum, nak,” kata ibunya menyodorkan gelas dengan gambar logo kecap botolan.
Satria mengambil gelas es teh dari tangan ibunya, meminumnya sedikit, lalu meletakkan dimeja didepan tempatnya duduk.
“Kenapa kamu bisa seperti itu, Nak?” ibunya memandang lemah namun sorot matanya tajam menembus ruang-ruang mata Satria.
Satria berusaha menatap mata ibunya. Begitu kuat sinar mata ibunya untuk berusaha menutupi rasa lemah yang ada didalamnya. Tak kuat menahan sinar mata itu, Satria menunduk.

*

               Siang itu adalah acara pengumuman perlombaan Sains tingkat SMP negeri, Satria adalah perserta nya. Dan sebagai seorang ibu, aku harus datang untuk acara penting itu. Apapun hasilnya, Satria adalah anak yang selalu membuatku bangga. Satria mungkin sedang gugup, dan aku juga tak pernah segugup ini sebelumnya.
Juara II, dan III sudah diumumkan, dan itu jatuh ketangan anak lain. Satria benar-benar terlihat kehilangan semangat. Aku menatap sekitar, beberapa orangtua terlihat sama gugupnya denganku, beberapa yang lainnya terlihat patah semangat.
Suara Panitia lomba mengagetkan lamunan kilatku.
“Juara pertama, diraih oleh, ananda Satria Yanuar Pradana dari SMP Negri……………………” teriakan panita itu tak terdengar lagi olehku. Aku bersyukur ya Allah, engkau mengirimkan aak laki-laki ini kepadaku, ini adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Aku menangis pelan, bahagia, aku adalah orang paling bahagia disini. Semua riuh renyak tepuk tangan orang-orang seakan tak terdengar ditelingaku, begitu melambat hingga aku tersadar saat aku melihat Satria berdiri diatas panggung menyampaikan sebuah pidato singkat.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah kepada Allah SWT yang sudah memberi saya kesempatan untuk mengikuti lomba Sains dan berdiri disini untuk memegang piala Juara I. Terimakasih untuk Ibu saya, yang selalu mengingatkan saya untuk belajar, sholat, makan, tidur. Ibu saya adalah orang paling hebat dalam hidup saya, apapun yang orang-orang katakan tentang beliau, bagi saya, ibu saya adalah sang juara. Karena beliau lah yang selalu membantu saya sampai akhirnya saya dapat membawa pulang piala ini. Terimakasih ibu.
Aku bahagia, aku menangis, aku…aku tak tahu harus berkata apalagi. Aku ingin memeluknya diantara ratusan orang yang ada disini. Terimakasih ya Allah…

*

               Satria masih menunduk, tak kuasa untuk memberi penjelasan tentang alasan perkelahiannya disekolah tadi. Ibu nya memang kuat, namun hatinya benar-benar lembut.
“Kamu anak yang baik, Nak. Ibu tahu pasti ada suatu alasan yang membuatmu seperti ini,” kata ibunya dengan suara masih melemah.
Satria ingin menatap mata itu, ibu selalu memahami apa yang ada dalam pikirannya dengan bahasa matanya. Tapi ia benar-benar tak kuasa untuk menemukan mata itu kembali. Ia hanya bisa terdiam, dan saat itulah ia mulai menahan tangisnya.

*

               Satria berlari kecil kearahku. Tubuh mungilnya memakai baju gamis berwarna putih terlihat begitu menggemaskan. Pipinya yang merona menghiasa kulit putihnya.
“Ayo, pecinya dipakai,” kataku.
“Ibu antar Satria kan?”
“Iya,”
Anak ini masih kelas satu SD, tapi guru ngajinya sudah mengikut sertakan dia untuk lomba mengaji dikampung. Kemampuannya memang luar biasa dalam segala hal.
“Ibu pakai baju muslim, ya,”
Aku diam sejenak. Lalu mengangguk, lantas masuk kamar. Aku memandang baju muslim biru muda lengkap dengan jilbab putihnya yang tergantung dipintu lemari. Baju muslim pertamaku, itu masih baru aku beli, hanya untuk menghadiri acara lomba mengaji Satria.
“Ibu, ayo, nanti Satria telat,”
“Iya-iya, sabar, ya…” lantas ku buka pintu kamarku.
“Waaaahhh!!! Ibu cantik kalau pakai kerudung!” sinar mata Satria begitu takjub menatapku.
“Oiya?” tanyaku menggoda.
Satria mengangguk cepat, wajahnya begitu lugu. Keluguan itu membuktikan bahwa ia berucap jujur.
“Ibu pakai kerudung terus, ya, ibu cantik!” katanya lagi.
Aku terdiam. Siap kah aku? Ini bukan tentang sebuah kecantikan atau apapun, ini tentang hati. Aku menatap Satria, wajahnya begitu terang seperti malaikat. Mungkin saja dia memang malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
“Ya, bu, ya?”
Ia masih menanti jawabanku. Aku masih terdiam emnatap wajah tak berdosa itu. Tanpa sadar aku mengangguk.
“Janji, bu?”
“Iyaaa… Ayo berangkat,”

*

               Satria mengusap air matanya yang terlanjur jatuh dipipi, lalu terisak. Ibunya memegang bahu Satria dengan lembut.
“Naaakkk, ceritakan saja apa yang terjadi…”
Satria masih tak kuat untuk bercerita. Dengan segala sisa kekuatan yang ada, mata basahnya menatap mata ibu nya, mengharapkan belas kasih agar ibunya paham tanpa ia bercerita. Ibu nya terdiam, menahan air mata yang keluar diambang kelopak matanya. Tangan besar ibunya menggenggam tangan Satria, berusaha member kekuatan kepada anaknya yang tampak melemah.

*

“Astaga, nih bayi apa sih mau nya, nangis terus! Dikssih susu juga udah nggak tidur-tidur!”. Aku menatap jengkel bayi umur satu mingguan yang menangis kasur kapuk yang sprei nya sudah sedikit kumal.
“Yuniiiii…” itu suara Susan.
“Masuk aja, Cyn!” teriakku gemulai dari kamar.
“Ya ampyun, Cyn! Udah gue bilang deh, lu taroh aja dipanti asuhan, susah banget, sih!”
“Panti asuhan moyang lu!” jawab gue sembari menggendong bayi laki-laki didepanku.
“Dari pada lu yang repooottt,” jawabnya
“Ssssttt… Diem, dia udah tidur nih!” kataku.
“Ya udah, cap-cus, Cyn!”
“Kayaknya gue hari ini nggak keluar dulu deh,”
“Haaaahhh??? Maksud loooo???”
“Iya, lu aja, bencong! Gue gak tega juga ninggalin dia sendirian,” kata ku sembari tersenyum memandangi bayi kecil yang mungil digendonganku.
“Ya udah deh, gue duluan, daadaaaahhh…” suara Susan lebih parah gemulainya dibanding aku.
Aku menatap kembali wajah mungil dalam gendonganku. Begitu tanpa dosa. Mungkin Tuhan mengirimkan makhluk tak berdosa ini agar aku berhenti berbuat dosa. Ya, mungkin saja. Tapi, entahlah…

               Siang itu Susan datang menangis padaku. Tangisnya tanpa ada yang dibuat-buat. Seperti sebagian dirinya yang lain keluar.
“Lu kenapa, Nek?”
Susan menyodorkan selembar kertas padaku. Ini apa? Aku bur4u-buru membacanya tanpa tanya. Ya, Tuhan! Ini Surat Keterangan Dokter yang menuliskan bahwa Susan positif HIV.
“Sabar ya, Cyn,” aku tak yahu harus berkata apa-apa lagi.
Susan masih menangis. Lalu dia menguatkan diri untuk berbicara.
“Tapi ini masih stadium awal, kata Dokter asal rajin terapi, jaga kondisi, dan minum obat, masih bisa disembuhkan,” katanya, lalu menangis lagi.
“Iya, syukurlah, tetep positif, Susan!” aku menggenggam punggung tangannya.
Tangan Susan ganti menggenggam tanganku.
“Kamu juga harus periksa, Yuni! Harus!”
Aku mengangguk cepat. Ya, aku juga harus segera periksakan diri. Sebelum semuanya terlambat.

               Dadaku berdegup kencang saat menerima surat dari laboratorium. Sesekali kulihat makhluk kecil yang ada digendonganku. Dia menatapku. Seolah-olah dia mengerti kecemasanku. Ku buka perlahan. Kertas ini terbuka, namun mataku masih tertutup. Ku kumpulkan seluruh kekuatanku untuk membuka mataku. Dan membaca apapun hasilnya itu.
Terimakasih, Tuhan!!! Aku baik-baik saja.
Aku menangis bahagia. Mungkin Tuhan benar-benar mengirim malaikat kecil ini agar aku berhenti dari kebiasaan-kebiasaan burukku. Dan Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat bayi mungil ini. Ya, memang. Sudah saatnya aku berhenti! Aku akan menamakannya Satria. Dia adalah pahlawan kecilku.
Aku menyentuh hidungnya, bayi itu tersenyum, entah apa yang ia senyumkan. Kucium keningnya untuk pertama kali.

*

               Satria menatap tangan ibunya yang menggenggam tangannya. Seolah-olah member sedikit kekuatan dalam dirinya. Satria menguatkan diri untuk menatap mata ibunya kembali. Mata itu sedikit membasah, namun begitu hangat dan tentram didalamnya, begitu penuh dengan kasih yang setiap hari ia butuhkan. Bibir ibunya bergetar.
“Nak, apa ini tentang ibu?”
Suaranya begetar, begitu lemah, namun benarbenar menusuk jantung dan mencekat kerongkongan Satria. Ia tak menjawab, ia menangis dipangkuan ibunya.
“Maafkan aku, Nak,” kata ibunya menangis.
Satria bangkit dan menatap wajah ibunya. Sudah ada garis-garis keriput disana-sini, sudah banyak berubah yang ada dari bentuk ibunya. Tapi kasih sayangnya tak pernah berubah, mata damai itu, tangan hangat itu, rasa pada masakannya, omelan kecilnya, semua itu tidak berubah. Bahkan janjinya tidak pernah berubah untuk mengenakan kerudung.
“Ibu ceritakan kejadian sebenarnya saat ibu bertemu kamu, Satria,” kata-katanya bergetar digenangi oleh air mata yang keluar dimata lebar itu.
“Nggak perlu, Bu, Satria nggak pengen tahu,”.
Satria menarik nafas dalam-dalam. Memberi jeda untuk sidikit menenangkan fikirnya.
“Bu, apapun yang mereka bilang tentang ibu. Ibu adalah orang yang selalu jatuh bangun untuk mebesarkan Satria, ibu adalah orang yang tak pernah membiarkan Satria kelaparan, ibu adalah orang yang selalu ada disaat Satria butuh. Ibu memang bukan seorang ibu yang sempurna, tapi bagi Satria, semua yang ibu lakukan buat Satria menunjukkan bahwa ibu sudah cukup sempurna, nggak perlu untuk menjadi yang sempurna, cukup yang terbaik. Ibu orang yang terbaik buat aku,” Satria menangis, mencium tangan ibunya. Tangan yang membesarkannya seorang diri.

*

               Angin malam semakin menusuk, menunjukkan kekuatan dinginnya. Seorang gadis berdiri dipinggir jembatan. Menangis. Menggendong seorang bayi yang masih berumur hari.
“Eeeehhh… Neneeekkk!!! Lu mau ngapain berdiri disitu?” seorang banci berlari mendekati gadis berumur 19 tahunan itu.
Gadis itu masih menangis. Tak ada jawaban.
“Lu ditinggalin pacar lu? Gak tanggung jawab ya?” kata banci dengan tanktop merah dan rok pendek itu asal .
Gadis itu menoleh kearah banci brambut lurus itu. Lalu mengangguk.
“Ya, ampyuuunnn!!! Dasar cowok bisanya bikin, udah jadi gak tanggung jawab! Bencong deh!”
Gadis itu hanya menatap banci yang megoceh disebelahnya.
“Trus lu mau bunuh diri? Anak lu kagak tau apa-apa juga mau lu ajakin mati? Gila banget nih lampir! Udah, masalah kayak gini bisa diselesain, gak usah pake bunuh diri, Cyn!”
Gadis itu kembali menangis, tangisnya semakin meledak.
“Saya sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Orang tua saya sudah nggak mau menerima saya lagi,”
“Aduuuhhh… Udah, donk! Kan masih bisa dipikirin lagi jalan keluarnya, jangan keburu bunuh diri! Ntar gentayang loh! Hiii…Serem!!! Ayo, turun, sini gue bawain anak lu, terus lu turun, Okeeeyyy!”
Banci itu mengambil bayi laki-laki yang ada dalam gendongan gadis itu. Bayi yang sedari tadi menangis itu ditimangnya. Tangisnya sedikit mereda. Lantas ia menoleh kearah gadis itu. Sudah tak ada lagi. Gadis itu sudah terjun bebas. Meninggalkan bayi dalam gendongannya yang kelak akan menjadi malaikat kecil dalam hidupnya.

***

Selasa, 31 Juli 2012

Ketika Sesuatu Berbeda



        Diambang jendela fajar aku berdiri menantang udara segar dengan asap rokokku. Sinar itu masih memerah, matahari seolah-olah masih malu-malu menatap tubuhku yg siap menyambutnya tanpa sehelai benangpun. Bunyi tembakau dan kertas yg terbakar perlahan terdengar jelas diantara dimensi sekitar yang tanpa suara.  Asap sisa itu kukeluarkan dari paru-paru, sebagian terhempas keluar kamar, sebagian berputar-putar mencari jalan keluar disekitar kamar bercat kuning dengan ukuran 5x6 yg tidak terlalu layak disebut hotel, lalu memudar untuk sekedar menyisakan bau saja. Dari arah belakang, seseorang memegang pundak telanjangku, aku menoleh, sebenarnya tanpa meolehpun aku tau siapa dia. Tapi aku ingin menoleh untuk sekedar memberi senyum kepada sipemegang itu. Dia menyodorkan kemeja abu-abu miliknya. Ku pakai, sedikit kebesaran, tapi toh itu bukan masalah yang sampai harus datang kepengadilan. Namanya Axel . Yang masih menatapku seperti beberapa menit yg lalu . Seperti saat sebelum aku menyalakan rokok putih ini. Tatapannya begitu datar, namun penuh arti. Ia berjalan mendekat, lalu mencium keningku yg tertutup poni.
“Reese, kamu sudah bercerita sepanjang malam,” Axel meraih rokokku yg terselip diantara jari telunjuk dan tengahku yg tinggal seperempat. Lalu melemparnya kesudut ruangan.
Aku masih malas berkomentar. Mungkin saja bukan malas, tapi terlalu takut. Takut nantinya menangis.
         Kemudian Axel menunduk. Wajahnya tertutup rambut depannya yg lurus. Itu adalah pose Axel yang menjadi favoritku. Rambutnya memang begitu indah. Kuraih bagian bawah kaosnya, hendak kubuka, tapi dia segera menyanggah.
“Rees, kita baru saja selesai melakukannya,” katanya sambil tersenyum.
         Senyumnya sedikit surut, menanti tanggapanku atas perkataannya tadi.
“Ya. Cuma kamu yang mengerti dengan jelas seperti apa rasanya,” hanya itu jawabanku.
“Jika kamu ingin menangis, menangislah, Rees,”
“Aku berusaha untuk kuat, Ax,”
“Sekuat apapun seseorang, dia tetap membutuhkan waktu untuk menangis,”
         Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara yg kutarik lewat hidung masih begitu dingin. Dan ku hembus dengan paksa. Aku duduk dikusen jendela. Axel masih berdiri didepanku. Menatap dengan penuh kasih yang seakan tak pernah bisa habis. Lalu turun kehidungnya yg mungil namun tajam, dan berakhir dibibirnya yg merah dan tak pernah tersentuh oleh filter rokok. Lantas ku kembalikan tatapanku pada matanya. Mata yang biasanya begitu hangat dan bersahabat, kini terlihat begitu banyak beban yg ada didalamnya, namun aku tak pernah menemukan titik lelah disitu. Sorot matanya seolah-olah mengatakan, “Tenanglah, biar aku yang menanggungnya semua,”. Jemariku menelusuri rambutnya, kini sudah hampir menyentuh bahu. Aku berjinjit. Berusaha mendekatkan bibirku dengan bibirnya. Sedikit susah untuk berusaha sendiri. Axel lebih tinggi 12 cm dariku. Hingga dia harus mennduk untuk membantu usahaku. Ku kecup pelan bibir itu. Sebentar namun terasa begitu tenang dihati. Lalu aku kembali menatapnya. Masih dengan sinar sebelumnya.
“Kamu cantik, Rees,” katanya dengan nada takjub, seolah-olah dia baru semalam berkencan denganku dan melupakan 1 tahun dia telah bersamaku.
“Dan kamu terlihat mengerikan,” sahutku sambil tersenyum kecil.
Keseriusan emosinya langsung terenggut oleh senyum spontannya. Senyum kami begitu memaksa, namun begitu cukup untuk merilekskan otot wajah kami yang tegang semalaman. Aku menambah frekwensi tawaku, namun benar-benar sangat memaksa. Sepertinya itu aku lakukan untuk menutupi sesuatu. Ya, tangisku. Aku benar-benar tidak bisa membedakan tawa dan tangis detik ini. Emosi ini bercampur dengan dipaksakan. Axel segera merengkuhku dalam pelukannya, begitu erat, mencium kepalaku begitu dalam. Aku tahu dia juga ingin menangis, tapi ia selalu berusaha untuk tidak melakukannya didepanku. Entah bagaimana cara dia bisa melakukannya, karena sejauh ini aku mencoba, aku selalu kebobolan air mata. Axel selalu mampu mendamaikanku disaat mereka semua menghujat kekuranganku, bukan aku saja, tapi kami berdua. Itu kenapa aku sangat mencintainya, dan terlalu addict dengannya.
“Ax…” tangisku mereda.
“Ya, sayang…” suaranya sedikit bergetar, mungkin karena usahanya menahan tangis.
“Kenapa kita berbeda?”
Dia terdiam beberapa detik. Lalu memainkan rambut belakangku yg panjangnya sudah hampir setengah punggung. Rambut itu jauh dibawah kwalitas rambutnya sendiri, tapi ia selalu mengagumi rambut kusamku.
“Apa kita harus sama?” jawabnya.
“Lantas kenapa mereka harus benar-benar membenci kita, sampai-sampai kita selalu hidup berpindah seperti ini,”
Lalu ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan pasrah. Tangannya masih membelai rambutku dengan tubuhku yang masih dalam dekapannya.
“Entahlah, Rees,”
“Sepertinya aku memang menjijikkan,” kataku datar.
“Tidak. Kamu makhluk paling indah yang pernah kulihat,” Axel segera menampik ucapanku.
“Apa kamu sedanga menggombal?” godaku.
“Sama sekali,” jawabnya seraya menggeleng.
         Aku terdiam sejenak. Kita memang benar-benar salah, tapi kita tak pernah mampu berbuat apa-apa. Kita saling mencintai. Itulah kesalahannya.
“Aku mencintaimu, Ax,” aku mengecup pelan dilehernya.
“Dan aku sangat,” jawabnya balas dengan mencium keningku.
         Kini matahari sudah sangat percaya diri untuk tampil diujung timur. Aku melepas pelukan Axel. Aku ingin melihat wajahnya dipagi hari. Dan selalu ingin begitu sampai kapanpun. Sinar matahari membantuku menatap bayangan dirinya dititik retina. Begitu jelas aku melihat sosok dihadapanku. Wanita berusia 22 tahun yang terpaut 1 tahun diatasku itu begitu cantik dan juga begitu tampan, dan auranya begitu damai. Ini memang sebuah kesalahan besar, tapi aku sangat mencintainya, Tuhan…


***

Selasa, 06 Desember 2011

Sisi Lain


Angin malam berlarian kencang, sama seperti mobil-mobil yang sesekali melaju dijalan tol ini. Dan kita berdua juga tak seharusnya duduk disini. Dipinggir jalan tol Bandara Juanda. Kita saling diam, hampir seperti orang yang sama-sama sakit gigi.

Jimmy bergerak dari duduknya, gue lirik, cuman ngambil rokok disaku, lalu mundur, dan bersandar dikaca depan mobil. Tiba-tiba ia terjingkat, pletikan tembakau yang terbakar meloncat ke kaus kuning (yang udah keliatan gak kuning-gak putih) molornya. Lalu kembali diam. Entah kenapa secara kompak kita berdua membiarkan suasana hening bergerak diantara kita. Tapi tak lama kemudian dia angkat bicara.
"Nen,"
"Heh?"
"Sini donk, biar romantis gitu!" katanya sambil cengar-cengir.
Gubrak! Nah loh! Dia ngomong romantis tapi kok serem banget jadinya! hahahaaha. Yaudah deh, turutin aja. Gue mundur sampai tepat disamping duduknya. Matanya memandang lurus dan jauh. Masih aja diem, duduk nangkring kayak patung Unair yang gue lihat hampir tiap hari. Biasanya nih, kalo dia diem gini (gak hiperaktif kayak biasanya), brarti dia mau ngomong sesuatu yang penting. jadi inget dia pertama kali nembak gue dikosan Jogja pake surat. hihiihi!
Tangannya melingkar kepundak belakang gue, membuat semakin dekat dengannya. Tangan itu berhasil membuat hangat punggung gue yang gue perkosa melawan angin dengan hanya menggunakan tanktop tipis warna putih. Lalu Jimmy mencium kening gue. Gue suka pas dia cium kening gue. rasanya tentram banget, ya Tuhan. Lalu dia menghisap rokoknya sekali lagi.
"Nen, merid, yuk!,"
"Hah!" Gue kanget gak karuan. langsung duduk tegak menghadapnya sampai-sampai tangannya terlepas dari pundak gue.
Gue lihat dia. Ternyata wajahnya gak kalah kagetnya kayak gue, tapi dia kaget gara-gara lihat jawaban gue.
"Lo ngomong apa sih?"
"Gue ngajakin lo merid,"
"Lo gak salah?"
"Apanya yang salah?"
Gue diem dengan pertanyaan itu. Gue pandang Jimmy, dari atas sampai bawah. Mencari urat bercanda yang ia sembunyikan. Tapi sia-sia. Gak ketemu.
Sekarang jadinya gue yang diam. Dan lagi-lagi kita saling diam. Sama seperti beberapa menit yang lalu.
Gue mikir kata-kata apa yang harus gue ucapin. Tangan gue merogoh tempat rokok di saku celana jeans yang gue potong pendek lalu diam lagi. Mencari inspirasi kata lewat sebatang tembakau.
"Jim,"
"Ya, Nen?"
Gue diam sejenak, mencoba merangkai kata supaya rapi dan gak bikin dia drop.
"Bukannya gue gak mau, tapi sepertinya kita belom siap buat itu,"
Dia diam, dengerin omongan gue yang gak kepingin gue lanjutin. Tapi dia masih nunggu. Emang gue pikirin. Tungguin aja sampe berkarat gak bakalan gue lanjutin kalo lo gak sambungin duluan.
Tapi kayaknya dia gak mau nungguin.
"Kata siapa kita belom siap? Kita udah ngelalui semuanya berdua selama hampir 3 tahun. Kita jalan menuju puluh-puluhan kota berdua, kita bisa nyelesain sama-sama berdua. Sekarang tinggal satu masalah yang belom kita selesain, Nen. Kita balik keJakarta, dan merid disana. Gue yakin kita bisa," katanya sambil menggenggam tangan gue.

Gue diem beberapa saat. Lalu angkat bicara lagi.
"Sekarang kita lihat kita masing-masing dulu, Jim. Gue selalu bikin masalah dimanapun gue berada yang apada dasarnya bukan kemauan gue. Dan elo. Lo mandi aja kalo pas lo inget doank, keramas pun tunggu kalo rambut udah kumel, itupun lo jarang mau pake shampoo, tapi pake sabun mandi. Belom lagi baju lo yang ganti seminggu sekali. Gue bermasalah dan elo berantakan, gimana kita saling perhatiin satu sama lain, sedang kan buat ngurus diri sendiri aja kita belum bisa".
Pandangan Jimmy tertunduk. Dan saat itu juga gue takut. Takut kalo kata-kata gue tadi nyakitin hatinya. Lalu dia tersenyum kecil. Kali ini senyumnya lain, penuh arti, tapi gue sendiri gak tau artinya.
"Nen, gue emang gak perhatiin diri gue, tapi bukan berarti gue gak bisa perhatiin lo, kan. Buktinya gue selalu bisa jemput lo kerja tepat waktu meskipun gue berangkat tanpa mandi. Gue bisa beliin lo makan tiga kali sehari meskipum saat itu gue belum makan sama sekali. Karena gue berusaha, Nen. Gue tetep akan berusaha sampai kapanpun," katanya pelan, namun cukup jelas dan terekam diotak gue.
"Jimmy, sorry. Gue gak bermaksud bikin lo down kayak gini. Gue sayang sama lo, tapi gue cuman takut gagal," kata gue sambil mengusap pipinya.
Dia meraih telapak tangan gue, lalu diciumnya. Kita masih saling diam. Saling pandang. Udah mirip kayak film taon 70an. Sinar matanya terlihat jelas meski jalan tol remang-remang. Didalamnya begitu jujur apa adanya. Saat ini gue pengen banget bilang, 'ya, gue mau merid sama lo, bila perlu sekarang kita langsung pergi ke Jakarta, trus ke KUA, trus bulan madu yang kesekian kalinya', tapi disisi lain gue takut untuk bilang seperti itu. Gue takut Jimmy gak bertanggung jawab, dan gue takut pulang...
"Jim, gue takut pulang," kata gue pelan.
"Gue temenin, Nen. Gue gak akan biarin lo pulang sendiri. Gue temenin lo sampai lo berada didepan bokap lo, dan gue ngomong kalo gue mau merid sama lo,"
"Lo yakin bisa?"
"Gue selalu berusaha yang terbaik buat lo, Nen,"
Bussseeettt!!! Kata-katanya! Baru kali ini gue denger kata yang beginian dari Jimmy. Bikin gue pengen nangis. Gue peluk dia, sekalian sembunyiin air mata gue. Entah lah, kenapa bisa gue tenang banget berada dipelukannya, meskipun dia jarang mandi, jarang ganti baju, tapi tetep ada sesuatu yang lain yang bikin gue betah lama-lama dipelukannya. Gue cium bahunya tempat dagu gue bersandar, lalu naik ke lehernya yang sedikit tertutup rambutnya yang selalu tak pernah kurang atau lebih dari sepudak. Astaga, gue sayang banget sama dia. Terimakasih Tuhan, udah kasih Jimmy buat aku. Dia memang bukan orang yang sempurna, tapi dia terbaik buat aku, Tuhan, Terimakasih.

“Hahahahahaaha!” tiba-tiba Jimmy ketawa.

“Napa lo?”

“Lo cium-ciumin gue, bikin gue merangsang!” katanya sambil ketawa.

Sialan! Dasar! Ngeres mulu pikirannya! Gak ngerti apa mood gue udah romantis, buyar dah!

“Setan lo!” Gue dorong dia yang masih ketawa-ketawa.

“Nah gimana lagi, lo nya godain gue kayak gitu, nyet,” katanya cengengesan.

“Taik. Otak lo tuh yang ngeres!” kata gue sewot lalu masuk ke mobil.

Jimmy beranjak dari duduknya, tapi dia masuk ke pintu jok belakang. Dia pikir gue supir apa!

“Trus lo suru gue nyupirin gitu. Maksud lo???” protes gue.

“Ssssstttt,” ibu jarinya menyentuh bibir gue, mengisyaratkan agar gue berhenti ngomel-ngomel.

Diciumnya perlahan sesuatu yang tadi ia sentuh dengan ibu jarinya. Begitu lembut, namun dalam, dan ciumannya selalu membuat seluruh persendian gue lemas. Perlahan gerakan itu sedikit lebih cepat dan lebih dalam. Dia tarik gue menuju jok belakang mobil. Angin sekitar yang tadinya dingin menusuk, kini menjadi hangat ketika dia semakin merapatkan gerakan diantara ciumannya. Otak gue terasa tinggi tanpa morfin, dan tubuh gue menjadi hangat tanpa alkohol. Semua terasa begitu hangat disetiap incinya, begitu nikmat disetiap detiknya. Harus gue akui, Jimmy adalah cowok terhebat didunia untuk diajak bercinta semalaman, bahkan untuk bercinta didalam mobil seperti saat ini sekalipun.


*


                Mobil berhenti didepan sebuah rumah tipe 158. Kami saling diam. Saling diam dari beberapa jam yang lalu ketika kita sudah memasuki kota Jakarta. Belum ada dari kita yang beranjak turun dari mobil. Jimmy masih diam, mungkin dia sedang berfikir, atau merangkai kata untuk berbicara pada papa nanti. Yah semoga aja Jimmy dapet wangsit sehingga dia bisa sedikit bijaksana untuk membuang semua kekonyolannya untuk sementara. Jimmy menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mungkin untuk proses rileksasi. Dia mencoba menyembunyikan rasa tegangnya, namun gue tahu betul kalo dia sama takutnya kayak gue. Lalu merapikan rambutnya, menyibakkan dibelakang daun telinganya (untung aja rambutnya dicuci sebelum berangkat tadi). Ia membuka pintu mobil, lalu turun. Memandang rumah sunyi didepannya sebentar, lalu melangkah kearah pintu gue yang masih tertutup karena gue masih duduk mematung dan belum bergerak untuk membukanya. Jimmy merapikan kemeja kotak-kotak biru-merah lamanya yang jarang sekali dia pakai, dan kali ini celana jeansnya gak sobek-sobek. Dan kali ini gue juga pake tanktop dobel kemeja putih biar kelihatan rapi, dan celana jeans gue juga gak sobek-sobek. Gue keluar mobil. Gue takut untuk melangkah masuk kedalam. Tapi jujur aja gue kangen sama rumah gue yang sudah hampir 7 tahun gak gue pulangi, gue kangen sama mama, kangen pelukannya, kangen beliau ingetin gue tiap jam makan, kangen papa, meskipun mungkin ntar beliau gak mau terima gue lagi, gue juga kangen budhe Ima yang selalu bantu-bantu gue, tapi takut.

“Jim, gak jadi aja, deh,” kata gue memegang lengan Jimmy.

Jimmy masih diam. Lalu menoleh ke gue, tersenyum kecil diantara rasa bimbangnya. Kemudian menggenggam tangan gue. Telapak tangan kami ternyata sama-sama dingin, seperti saat kita makan roti isi selay mushroom sapi waktu kita berada di Bali. Kami berjalan mendekat pagar, Jimmy segera membunyikan bel. Seorang wanita berumur 60 tahunan keluar. Itu pembantuku, Budhe Ima, begitu kami sekeluarga memanggilnya karena kami sudah menganggap seperti keluarga kami sendiri.

“Non, Nensi ? Dari mana saja, non? Budhe kangen,” begitu kata Budhe Ima sembari membuka pager.

“Nensi juga kangen sama budhe,” Gue peluk budhe ima yan tingginya sebahuku.

“Papa-mama ada didalam, Non, masuk aja,” kata budhe.

Gue melangkah masuk kedalam rumah, Jimmy masih disamping gue, gandeng tangan dingin gue dengan tangan dinginnya. Gue melewati ruang tamu, tampak kosong. Disofa biru muda itu biasanya gue tiduran dengerin mp3 kalo gak ada kerjaan dirumah. Lalu gue melangkah ke ruang makan. Disana sudah terlihat Papa-mama. Papa terlihat sedikit kaget, tapi kemudian membuang muka. Mama tak kalah kaget, “Nensi?” ucapnya lirih, hampir tak terdengar telinga, namun gue bisa baca bahasa bibirnya. Mama langsung menangis.

“Mau apa kalian kesini?” suara Papa memecah keheningan sementara yang terjadi diruang makan ini.

Gue semakin merasa kecil dengan pertanyaan itu, jantung gue terpompa dengan cepat seakan-akan gue abis menelan pil Dextro terlalu banyak.

“Sebelumnya saya minta maaf, Om. Kedatangan Saya kemari, saya ingin meminta izin untuk menikahi Nensi,” kata Jimmy pelan namun to the point.

Kepala gue pening, hampir mau pingsan, lantai sekitar tampak berombak. Semua terlihat kabur. Bergerak-gerak tak terkendali. Keringat dingin keluar semua, kaki terasa lemas, nafas terasa berat. Mungkin tanpa Jimmy disamping gue, gue sudah jatuh lemas atau bahkan berlari keluar dan bersumpah takkan sanggup tuk kembali lagi. Namun genggaman tangannya begitu memberi ammunisi disetiap persendian gue yang kini sedang melemah hingga sampai kini masih bisa tegak berdiri. Mungkin pada detik ini Tuhan tunjukin ke gue, sisi lain dari searang Jimmy. Jimmy yang dekil, heboh, gila, konyol, aneh, lucu, yang benci banget sama bangku sekolah, dan berantakan minta ampun, namun kali ini Jimmy yang gue lihat sangat lain. Jimmy yang gue lihat saat ini begitu tenang, kalem, tegas, sopan, dan bertanggung jawab. Jimmy masih menggenggam tangan gue. Mungkin tanpa genggaman tangan Jimmy, gue takkan mampu berdiri tegak disini.

*

Sabtu, 03 Desember 2011

Ketika Kau Menggenggam Tanganku Disini

          Mata itu menatap tajam, menelusuri setiap rasa sesak dipersendianku, seakan berkata "Jangan menangis, aku tak sanggup melihatnya," . Bibirnya tak berkata apapun, namun sentuhannya cukup menjelaskan ia tak sanggup untuk melangkah lebih jauh lagi . Ku tatap ganti matanya . begitu dalam, mencari kesungguhan tentang janji setianya dulu. namun tak mampu ku berlama-lama, dan ku lempar kesekitar . Semua tampak hitam-putih, begitu hening tanpa suara . Hanya gerakan angin yang mengisyaratkan mereka ada . Dan diantara mereka, kami berdiri. ku coba menatapnya kembali, terasa basah tanpa suara. Diraihnya tanganku. digenggamnya kedinginan yang membelengguku, menyalurkan energi hangat tubuhnya. Kami berdua masih saling diam, tanpa kata, tanpa suara. namun dari setiap inci gerakan kami, kami sudah saling tahu, kami masih saling mencintai. Tangan itu menghangatkan telapak tanganku, mencairkan hatiku yang sempat membeku beberapa hari yang lalu. Genggaman tangannya seolah memberi kalsium pada setiap tulang dan persendianku yang hampir runtuh. Entahlah bagaimana aku harus tanpanya, apa aku mampu berdiri tanpa pegangan tangannya. Aku membutuhkan genggaman ini untuk menumbuhkan harapan disetiap hembus nafasku. Aku butuh dia, masih butuh dia, dan akan selalu membutuhkannya, Tuhan . Suara kapal itu memecahkan warna hitam putih diantara kami, merubah keheningan yang lalu menjadi riuh renyah. Dia segera memelukku. begitu erat. Hingga hangat tubuhnya terasa mengalir bersama denyut nadiku. Dan akan selalu mengalir disini meski dia telah berdiri diatas lautan menuju hidup barunya disana.

Jumat, 18 November 2011

Surat Bryan


22.05
Gue lirik gitar yang tiap hari nangkring dipojokan tempat tidur. Diam, sepertinya berharap di mainkan. Dia benar-benar nganggur, begitu pula gue. Akhirnya gue letakkan pensil yang sedari tadi berdiri diantara jempol, jari telunjuk, dan jari tengah. Kini pensil itu tertidur diatas buku penuh coretan kata-kata gombalan yang semrawut! Gue melangkah malas menuju pojok tempat tidur, dimana gitar akustik gue sudah menunggu. Lantas gue mainkan. Sepertinya benda itu tersenyum senang. Hahaaha!


23.30
Merebahkan tubuh sejenak mungkin ide bagus, punggung sepertinya sudah mengerak sedari tadi diperkosa duduk dan bermain gitar. Lalu gue mainkan lagi sang gitar sambil baringan. Gara-gara lihat isi cerpen di Blog temen, jadi ikutan idenya buat nembak cewek pake surat. Kayaknya gampang, tapi ternyata susah bikinnya. Haduh! Tapi gimana lagi, mau ngomong langsung juga malu! Sial! Gitarku ku istirahatkan disamping gue rebahan. Gue ambil rokok dan membakar ujungnya, menghisapnya dalam-dalam. Apa susahnya sih bikin surat? Tinggal nggombal-nggombal dikit, kelar dah! Hufft! Tauk ah! Males bikinnya! Gak jadi nembak aja deh!


23.55
Anjrit, kok jadinya kepikiran nih anak trus sih? Jangan-jangan dipelet lagi guenya! Terpaksa deh, bangun lagi mentelengin kertas. Kalo nih pensil bisa ngomong, kayaknya dia bakalan bego-begoin gue, deh.


01.45
Hey, Nila. Hehehe! Sebelomnya aku minta maaf, aku pake cara jadul. Yah, gimana lagi, tapi biasanya yang jadul itu lebih romantis, soalnya jarang ada yang pake. Iya, gag? :D
Nila, jujur aku bingung mau tulis apa. Semua yang ada di otakku tiba-tiba aja hilang. Tapi satu yang gak ilang. Itu kamu :)
Gak tau dari mana awalnya, aku tiba-tiba aja selalu mikirin kamu. Dan akhirnya aku sadar, aku sayang kamu. Aku bener-bener sayang sama kamu, Nil.
Kalo pas aku udah pulang, dan kamu baca surat ini, tolong dipikirkan, ya. Aku tunggu jawabannya besok.
Bryan
        Nah, kelar juga akhirnya. Daripada susah-susah mikir kata-kata gombal yang indah nan romantis (preeettt!) mendingan pake bahasa alakadarnya aja. Yang penting kan tulus dari dalam hati.


01.49
To : Nila
Nil, dah bobok?
From : Nila
Belom. Kenapa?
To : Nila
Aku mau kerumahmu bisa?
From : Nila
Ngapain jam segini?
To : Nila
Aku mau ngomong penting …
From : Nila
Oke. Kesini aja. Aku tunggu.
To : Nila
Oke. Tunggu, yah …
From : Nila
He’em …


01.58
        Kok kayaknya mendung, yah? Biarin, dah! Nekat aja! Yang penting ada jas ujan ajah dan yang penting, nih surat nyampe malem ini juga.
“Yan, mau kemana?” eh, suara emak gue bikin kaget aja!
“Kerumah temen, Ma. Bentar doank, kok. Berangkat, Ma! Assalamu’alaikom!” gue buru-buru ngibrit, mumpung belom ngomong macem-macem tuh si emak. Hahahaaha.


02.22
        Nah loh! Beneran ujan! Sial! Pas banget, gue bawa jas ujan. Yah, demi cinta. Hahaaha! Mana dingin pula! Untung gue pake sandal jepit, coba pake sepatu, kudu jemur dah besok siang! Mana deres banget pula ujannya. Jadi gak berani kenceng!
“Craaaaaaatttt!!!”
Anjing! Sialan tuh orang! Udah tau jalan becek, pake mobil kenceng bener! Sial! Basah semua! Haduh! Gue rada-rada kebutin dah motor gue, biar cepet sampe, cepet ketemu, cepet pulang, cepet ganti baju, dan cepet tidur.


02.40
To : Nila
Nil, aku dah sampai depan rumahmu…

Gue lihatin trus jendela kamarnya yang ada diatas, biar pas dia nengok dari sana, gue siapin senyum gue (meski nyengirnya ntar bakalan rada maksa gara-gara kehujanan malem-malem). Gue tunggu. Kok gak nongol-nongol nih anak! Gak bales messege gue pula!

To : Nila
Nil, aku dah sampe depan rumahmu, nih!

Masih gak dibales. Jangan-jangan ketiduran nih anak? Telfon aja, deh!


02.51
Sms gak dibales, telfon gak diangkat. Beneran tidur nih anak. Sial! Katanya ditungguin, udah disamperin malah ditinggal ngorok! Hufft! Cinta-cintaaa…
Gue melangkah masuk keteras rumahnya yang tidak berpagar. Mengendap-endap persis maling, untung aja kagak ada orang ngeronda! Gue taroh surat tadi diatas pintu. Moga-moga dia baca, biar pengorbanan gue malem kagak sia-sia. Lalu gue jalan menuju motor. Iseng lihat kanan-kiri sebentar. Gilak! Gue baru nyadar kalo daerah rumahnya sepi banget kayak kuburan! Mana lampu jalanan juga jarang pula! Gue buru-buru starter motor. Serem!

*

Rabu, 16 November 2011

Selalu Ingatkan Aku Mama ...




            Ku lihat jam tanganku, sudah pukul setengah dua belas malam . Ku tutup pintu ruang tamu dan menguncinya dengan berusaha tanpa menimbulkan suara kencang. Langkahku mengendap-endap menuju kamar. Ruang tamu tampak sepi, lampu pun sudah dimatikan. Tinggal lampu ruang makan yang masih menyala, tapi memang setiap malam lampu ruang makan tak pernah dipadamkan.
“Kenapa baru pulang, nak?” tiba-tiba suara mamaku membuatku hampir terjingkat.
“Iya, habis ngerjain tugas dirumah temen, Ma,” jawabku bohong.
Sebenarnya aku habis nongkrong dengan teman-temanku. Hanya sekedar nongkrong. Minum kopi dan makan snack. Itu saja. Tidak ada yang negatif, jadi bohong pun tidak masalah menurutku.
“Kok, malem? Mama telfon, kenapa nggak diangkat, sms mama juga nggak dibales?” tanya mama seakan-akan tidak percaya.
Aku merasa terpojok dengan pertanyaannya.
“Dibilangin Niya lagi ngerjain tugas, mah! Kenapa sih tanya terus, Niya itu capek,” kataku dengan nada sedikit meninggi menutupi kesalahanku.
“Niya, mama nggak suka kamu pulang malem-malem gini. Nggak baik, nak! Dilihat tetangga juga nggak baik!” nada bicara mama juga ikut sedikit meninggi.
“Apa’an sih? Kayak makan ikut tetangga aja! Peduli amat!” kataku tak mau kalah.
“Niya, mama nggak suka kamu pulang malem,” sekarang nada bicara mama sedikit merendah.
“Alah, mah. Biasa aja deh, temen-temen Niya juga pernah keluar malem, tapi orangtuanya juga nggak ribet amat kayak mama. Ngapain juga sih, Niya kan udah gede, mah. Lagian Niya juga nggak ngelakuin hal yang negatif, kan!” kali ini suaraku bisa dibilang membentak.
“Niya! Kalau mama bilang mama nggak suka, nggak usah dilakuin!” kini mama balas membentakku, matanya melotot kearahku.
Ku tatap matanya sebentar, lalu berpaling, dan berlari kekamar.
“Lebay!” kataku sebelum berlari.
“Besok, mama ganti kunci pintunya. Kalau kamu sekali lagi pulang malam, mama nggak akan bukain pintu!” ku dengar kata-kata mama sebelum aku masuk kamar.
Ku tutup pintu kamarku dengan kasar.
“Niya!” bentak mamaku dari ruang makan.


Aku membanting tubuhku kekasur. Sialan! Gak bisa biasa aja apa? Dasar lebay! Temen-temen pada boleh pulang malem, masa aku gak boleh. Aku kan udah umur dua puluh tahun, masa masih gak boleh keluar malem! Kayak balita aja! Lebay! Huh! Aku gak betah kalo diginiin terus! Biar, aku pergi dari rumah, biar tau rasa! Aku kan juga pengen bebas! Aku secepatnya bangkit dari tempat tidur. Ku ambil beberapa potong baju, celana, dan pakaian dalamku, ku masukkan dalam tas kuliahku.

*

            Ku ambil tas berisi pakaian sudah kusiapkan semalam. Aku keluar kamar, kulihat mama sedang berada dimeja makan. Mama diam saja ketika melihatku, mungkin mama masih marah gara-gara kejadian semalam. Aku pun tidak menyapa. Aku langsung berlalu dari hadapannya. Berjalan keluar rumah tanpa pamit. Kali ini aku akan berjalan kaki! Gak pakai motor juga gak masalah! Ku cegat angkutan umum yang mengarah ke Stasiun Gubeng.

                        Hari masih pagi, namun suasana stasiun sudah ramai. Ku lihat jadwal pemberangkatan kereta. Jurusan Jogja pukul 07.00. Oke, ku beli tiketnya dan langsung masuk menuju gerbong kereta yang sudah siap dengan penumpang yang berjubel. Maklum kereta ekonomi. Aku berjalan dari gerbong kegerbong mencari tempat duduk yang kosong. Nihil. Terpaksa berdiri untuk sementara waktu, paling tidak kau nantinya ada yang turun. Panas, sumpek, rebut, semua jadi satu dalam kereta. Entahlah, kenapa pihak stasiun tidak membatasi jumlah tiket penjualan sesuai dengan kuota normal kereta api ini. Apa memang pihak stasiun ingin mendapat untung lebih banyak, atau mereka tidak mau tahu yang penting asal menjual, atau banyak dari penumpang yang tidak bertiket. Apa mungkin demi uang beberapa puluh ribu saja, pihak stasiun memperbolehkan penumpang hingga melebihi kuota. Bukankah ini berbahaya. Benar-benar seperti bisnis nyawa dalam kereta. Entahlah! Yang pasti aku sekarang sedang berdiri diantara puluhan atau bahkan ratusan penumpang lain yang juga berdiri, belum lagi para penjual dalam kereta yang tetap berjalan keliling menjual dagangannya meski jelas-jelas kereta sudah sesak dan susah untuk dipakai berlalu-lalang.

            Angin semilir dari jendela kereta membuat rambut pendekku menari naik turun. Masih sampai daerah Sepanjang. Banyak anak-anak, bapak-bapak pengamen yang sedari tadi berusaha mencari receh ditengah sesak orang. Tapi belum ada satupun yang ku beri. Bukannya pelit, tapi aku malas merogoh saku celana jeansku ditengah himpitan banyak orang. Tapi tiba-tiba ada dua bencong mengamen. Mereka berkerudung. Menyanyikan lagu dangdut yang lagi booming saat ini dengan gaya mereka. Aku hampir tertawa, tapi ku tahan. Buru-buru aku mengambil uang receh yang ada disaku celana. Kutemukan uang lima ratus rupiah. Kuberikan pada mereka, meski mereka tidak berniat mengamen kepadaku.

Matahari sudah diatas ubun-ubun. Oh, my God! Panasnya minta ampun! Untung saja aku memakai t-shirt biru kesayanganku yang kainnya dapat menyerap keringat dengan baik. Seseorang mengemasi tas ranselnya dan berdiri, sepertinya waktunya akan turun. Aku segera menggantikan tempat duduknya. Akhirnyaaa… aku bisa duduk. Kulihat jam tangan putihku kado ulang tahun pemberian mama, pukul sebelas lebih sepuluh menit. Kakiku benar-benar terasa kaku setelah beberapa jam dipaksa untuk berdiri. Beberapa menit kemudian kereta memperlambat lajunya, lalu berhenti disebuah stasiun. Aku tak tahu. Ku lihat sekeliling stasiun yang pandangannya dapat kujangkau dari arah tempat dudukku. Sudah sampai Solo. Mungkin kurang satu atau dua jam an lagi untuk sampai di Jogja.

Kira-kira lima belas menit kemudian kereta berjalan lagi. Aku benar-benar lelah. Semalam jam tidurku kurang, belum lagi aku harus berdiri beberapa jam dalam kereta. Dan aku mulai mengantuk saat angin sepoi-sepoi mulai meniup masuk dalam kereta. Kuletakkan tasku disebelahku dan kupakai tumpuan untuk tidur sebentar.

*

            Aku terjingkat dari tidurku, segera kulihat tasku. Masih ada disebelahku. Banyak orang bersiap-siap untuk turun. Kulihat stasiun yang familiar. Ternyata aku sudah sampai di Stasiun Lempuyangan. aku tersenyum. Aku berhasil menakhlukkan perjalan Surabaya-Jogjakarta dengan menggunakan kereta ekonomi seorang diri. Lalu aku turun dari kereta. Menghirup nafas panjang. Lega rasanya. Kulihat orang-orang sibuk dengan perjalanannya masing-masing distasiun. Sekarang aku akan mencari becak untuk menuju jalan Malioboro dan mencari penginapan disana. Aku melangkah didepan orang-orang penjual sate ayam dipinggir-pinggir stasiun. Tapi kuputuskan untuk ketoilet terlebih dahulu. Untuk sekedar buang air kecil dan cuci muka. Namun saat aku keluar dari toilet, ku lihat ada sorang gadis kecil yang terlihat kebingungan. Mungkin sekitar umur delapan tahunan. Gadis cantik dengan dress berwarna pink. Kudekati dia yang hampir menangis.
“Kenapa, dek?” aku jongkok didepan gadis itu.
“Ibuk mana?” dia setengah menangis.
“Loh, kamu hilang? Namamu siapa?” tanyaku meredakan tangisnya.
“Rina,” jawabnya sesenggukan.
“Kakak anter ketempat informasi, yah? Biar dicarikan ibumu,” hiburku.
Dia mengangguk. Lalu kugandeng tangannya. Tapi beberapa langkah kemudian seorang wanita berlari kearah kami.
“Rina!” katanya ditengah larinya.
“Ibuk!” jawab Rina.
Lalu aku melepaskan gandengannya. Ibunya menghapiri dan memeluknya. Kulihat ibunya menangis. Memeluk anaknya erat-erat. Terus menangis.
“Ibuk minta maaf, nduk,” kata ibunya seraya menciumi pipi Rina.
Lalu ia kembali memeluk putrinya.
Entah kenapa tiba-tiba aku seperti melihat sesuatu dipikiranku. Aku teringat sebuah kenangan yang sempat bertahun-tahun kulupakan. Dan kenangan itu muncul kembali. Terlihat jelas dimataku. Aku… aku dulu pernah menjadi seorang Rina. Aku dulu pernah hilang saat mama mengajakku kepasar.
“Mbak, makasih, yah…” kata-kata wanita berumur 30 tahunan itu membuyarkan pikiran flashbackku.
“Oh, iy-iya, bu. Mari, bu,” kataku dengan suara yang entah kenapa menjadi bergetar karena memory lama itu. Kemudian aku berlalu.

Aku berjalan kepinggir, bersandar kedinding. Mencari tumpuan tubuhku yang gemetaran. Aku kembali menyusun pikiranku yang terbuyarkan tadi. Kini aku masih dapat melukis dengan jelas wajah takut mama saat ia kehilanganku. Aku bisa merasakan butiran-butiran bening nan suci yang keluar dari mata mama saat ia menemukanku. Aku masih ingat saat mama menemukanku, ia menciumi pipiku dengan rasa kekhawatiran. Dan aku ingat jelas bagaimana hangat dan tentramnya pelukan mama saat menemukanku dalam keadaan takut dan ia berusaha menenangkanku dalam ketakutannya sendiri. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan bagaimana takutnya mama kehilanganku. Mungkin saja. Mungkin saja kemarin malam mama merasakan hal itu lagi. Mungkin mama marah karena mama takut kehilanganku untuk kedua kalinya. Mungkin saja mama khawatir sesuatu yang buruk terjadi padaku. Mungkin saja mama takut untuk tak bisa mendengar suaraku lagi, tak bisa melihat senyumku lagi, tak bisa menciumiku lagi, tak bisa menenangkanku dengan pelukannya lagi. Mungkin saja mama terlalu menyayangiku sampai ia terlalu takut untuk kehilanganku. Dan aku… bagaimana denganku? Sekarang aku berdiri disini. Mencoba meninggalkan orang paling mulia dan yang paling mencintaiku. Bagaimana aku bisa begini? Berencana membuat menangis wanita yang tak pernah ingin melihatku menangis. Makhluk macam apa aku ini? Ya, Allah! Mama! Maafkan aku…

            Lama aku terdiam dalam pikiranku, dalam tangisku. Ku usap air mataku, namun kemudian ada susulan air mata lagi yang terjatuh. Ku usap lagi. Dan kutahan sekuat tenaga air mata yang akan jatuh berikutnya. Lalu aku bangkit dan keluar stasiun. Beberapa tukang becak mencoba menawarkan jasanya untuk mengantarku ketempat tujuan, namun ku tolak dengan sebaik mungkin. Langkahku menuju pintu masuk stasiun. Ku cermati jadwal pemberangkatan menuju Surabaya. Ku temukan. Pukul 14.00. ku liha jam tanganku, jam satu lebih dua puluh menit. Aku segera membeli tiket, dan bergegas masuk kembali kedalam peron, menunggu keretaku untuk kembali ke Surabaya.

*

            Kamar itu benar-benar sunyi. Terdengar suara lirih seorang wanita yang sedang shalat. Diakhir shalatnya wanita itu berdzikir. Kemudia mencurahkan isi hatinya kepada Sang Maha Penciptanya.
“Ya Allah, hamba tidak pernah bermaksud kasar dengan anak hamba. Aku hanya takut sesuatu yang burk terjadi pada anak hamba, ya Allah. Hamba benar-benar takut. Benar-benar takut!” wanita itu menangis, “Lindungilah anak hamba dari segala niat jahat dan segala bahaya, beri dia keselamatan dunia akhirat, berilah dia jalan yang lurus, dan selalu akan diri-Mu, ya Allah. Amin.” isaknya dalam doa.
            Beberapa menit kemudian, wanita itu bangkit dari duduknya dan menuju dapur. Mengambil beberapa bahan dari coolkas. ‘aku akan memasak masakan kesukaan Niya,’ batinnya sambil tersenyum.

*

            Alhamdulillah, sudah sampai Surabaya. Kulihat jam dinding besar yang tergantung didinding stasiun. Jam Sembilan lebih seperempat. Aku berlari keluar stasiun. Menunggu angkutna umum yang menuju kearah rumahku dengan tidak sabar. Kulihat angkutanku datang. Ku cegat, dan segera aku masuk. Perjalanan pulang ini terasa begitu lama. Angkuta tumpanganku berhenti pas didepan gang rumahku. Aku bergegas turun dan berlari . sampai tiba ak didepan rumah. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul sepuluh kurang. Aku membuka pintu.
“Assalamualaikum, Mah!” salamku.
Aku segera berlari masuk rumah.
“Mamah?” ku cari mamaku.
Dan kutemukan ia tengah duduk dimeja makan. Beliau berdiri, menatapku khawatir. Aku segera memeluknya. Memeluk erat. Aku menangis.
“Mah, maafkan Niya, Mah,” tangisku dalam peluknya.
Mama balas memelukku. Pelukannya nmasih terasa hangat dan tentram. Ia mengusap kepalaku.
“Niya, minta maaf, mah. Niya udah kasar sama mama kemaren. Niya salah, Mah. Niya minta maaf,” aku semakin menangis.
“Iya, sayang. Sama-sama, Mama juga minta maaf kalau Mama terlalu banyak melarangmu, itu karena Mama sayang sama kamu, nak,” suara mama bergetar. Sepertinya menangis tapi beliau menahannya.
“Nggak, Mah. Niya yang salah. Niya minta maaf,” kucium pipi mama.
Mama mencoba menenangkan tangisku dan menahan air matanya. Ia mengusap rambutku lalu kepipi, kemudian tersenyum.
“Oiya, Mama sudah bikinin makanan kesukaanmu. Makan, yuk,” tangan mama menuntunku ke meja makan.
Ku makan masakan mama dengan lahap, tanpa sisa. Mama tersenyum melihatku yang dengan lahap memakan masakannya. Ku lirik jam dinding ruang makan. Sudah jam dua belas malam. Sebentar lagi sudah dini hari. Aku baru ingat sekarang tanggal 21 Desember. Sebentar lagi tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Kudekati mama yang duduk dikursi depanku. Aku duduk dibawahnya. Ku genggam tangannya yang hangat.
“Selamat Hari Ibu, Mah,” kataku lalu mencium tangan mama.
Mama mengusap kepalaku, “Terimakasih, sayang,”.

            Ya Allah, berilah Mama umur panjang dan kesehatan. Agar beliau akan selalu bisa menasihatiku saat jalanku tak terarah, dan selalu mengingatkanku kepada-Mu, ya Allah. Amin…

*