Rabu, 16 November 2011

Selalu Ingatkan Aku Mama ...




            Ku lihat jam tanganku, sudah pukul setengah dua belas malam . Ku tutup pintu ruang tamu dan menguncinya dengan berusaha tanpa menimbulkan suara kencang. Langkahku mengendap-endap menuju kamar. Ruang tamu tampak sepi, lampu pun sudah dimatikan. Tinggal lampu ruang makan yang masih menyala, tapi memang setiap malam lampu ruang makan tak pernah dipadamkan.
“Kenapa baru pulang, nak?” tiba-tiba suara mamaku membuatku hampir terjingkat.
“Iya, habis ngerjain tugas dirumah temen, Ma,” jawabku bohong.
Sebenarnya aku habis nongkrong dengan teman-temanku. Hanya sekedar nongkrong. Minum kopi dan makan snack. Itu saja. Tidak ada yang negatif, jadi bohong pun tidak masalah menurutku.
“Kok, malem? Mama telfon, kenapa nggak diangkat, sms mama juga nggak dibales?” tanya mama seakan-akan tidak percaya.
Aku merasa terpojok dengan pertanyaannya.
“Dibilangin Niya lagi ngerjain tugas, mah! Kenapa sih tanya terus, Niya itu capek,” kataku dengan nada sedikit meninggi menutupi kesalahanku.
“Niya, mama nggak suka kamu pulang malem-malem gini. Nggak baik, nak! Dilihat tetangga juga nggak baik!” nada bicara mama juga ikut sedikit meninggi.
“Apa’an sih? Kayak makan ikut tetangga aja! Peduli amat!” kataku tak mau kalah.
“Niya, mama nggak suka kamu pulang malem,” sekarang nada bicara mama sedikit merendah.
“Alah, mah. Biasa aja deh, temen-temen Niya juga pernah keluar malem, tapi orangtuanya juga nggak ribet amat kayak mama. Ngapain juga sih, Niya kan udah gede, mah. Lagian Niya juga nggak ngelakuin hal yang negatif, kan!” kali ini suaraku bisa dibilang membentak.
“Niya! Kalau mama bilang mama nggak suka, nggak usah dilakuin!” kini mama balas membentakku, matanya melotot kearahku.
Ku tatap matanya sebentar, lalu berpaling, dan berlari kekamar.
“Lebay!” kataku sebelum berlari.
“Besok, mama ganti kunci pintunya. Kalau kamu sekali lagi pulang malam, mama nggak akan bukain pintu!” ku dengar kata-kata mama sebelum aku masuk kamar.
Ku tutup pintu kamarku dengan kasar.
“Niya!” bentak mamaku dari ruang makan.


Aku membanting tubuhku kekasur. Sialan! Gak bisa biasa aja apa? Dasar lebay! Temen-temen pada boleh pulang malem, masa aku gak boleh. Aku kan udah umur dua puluh tahun, masa masih gak boleh keluar malem! Kayak balita aja! Lebay! Huh! Aku gak betah kalo diginiin terus! Biar, aku pergi dari rumah, biar tau rasa! Aku kan juga pengen bebas! Aku secepatnya bangkit dari tempat tidur. Ku ambil beberapa potong baju, celana, dan pakaian dalamku, ku masukkan dalam tas kuliahku.

*

            Ku ambil tas berisi pakaian sudah kusiapkan semalam. Aku keluar kamar, kulihat mama sedang berada dimeja makan. Mama diam saja ketika melihatku, mungkin mama masih marah gara-gara kejadian semalam. Aku pun tidak menyapa. Aku langsung berlalu dari hadapannya. Berjalan keluar rumah tanpa pamit. Kali ini aku akan berjalan kaki! Gak pakai motor juga gak masalah! Ku cegat angkutan umum yang mengarah ke Stasiun Gubeng.

                        Hari masih pagi, namun suasana stasiun sudah ramai. Ku lihat jadwal pemberangkatan kereta. Jurusan Jogja pukul 07.00. Oke, ku beli tiketnya dan langsung masuk menuju gerbong kereta yang sudah siap dengan penumpang yang berjubel. Maklum kereta ekonomi. Aku berjalan dari gerbong kegerbong mencari tempat duduk yang kosong. Nihil. Terpaksa berdiri untuk sementara waktu, paling tidak kau nantinya ada yang turun. Panas, sumpek, rebut, semua jadi satu dalam kereta. Entahlah, kenapa pihak stasiun tidak membatasi jumlah tiket penjualan sesuai dengan kuota normal kereta api ini. Apa memang pihak stasiun ingin mendapat untung lebih banyak, atau mereka tidak mau tahu yang penting asal menjual, atau banyak dari penumpang yang tidak bertiket. Apa mungkin demi uang beberapa puluh ribu saja, pihak stasiun memperbolehkan penumpang hingga melebihi kuota. Bukankah ini berbahaya. Benar-benar seperti bisnis nyawa dalam kereta. Entahlah! Yang pasti aku sekarang sedang berdiri diantara puluhan atau bahkan ratusan penumpang lain yang juga berdiri, belum lagi para penjual dalam kereta yang tetap berjalan keliling menjual dagangannya meski jelas-jelas kereta sudah sesak dan susah untuk dipakai berlalu-lalang.

            Angin semilir dari jendela kereta membuat rambut pendekku menari naik turun. Masih sampai daerah Sepanjang. Banyak anak-anak, bapak-bapak pengamen yang sedari tadi berusaha mencari receh ditengah sesak orang. Tapi belum ada satupun yang ku beri. Bukannya pelit, tapi aku malas merogoh saku celana jeansku ditengah himpitan banyak orang. Tapi tiba-tiba ada dua bencong mengamen. Mereka berkerudung. Menyanyikan lagu dangdut yang lagi booming saat ini dengan gaya mereka. Aku hampir tertawa, tapi ku tahan. Buru-buru aku mengambil uang receh yang ada disaku celana. Kutemukan uang lima ratus rupiah. Kuberikan pada mereka, meski mereka tidak berniat mengamen kepadaku.

Matahari sudah diatas ubun-ubun. Oh, my God! Panasnya minta ampun! Untung saja aku memakai t-shirt biru kesayanganku yang kainnya dapat menyerap keringat dengan baik. Seseorang mengemasi tas ranselnya dan berdiri, sepertinya waktunya akan turun. Aku segera menggantikan tempat duduknya. Akhirnyaaa… aku bisa duduk. Kulihat jam tangan putihku kado ulang tahun pemberian mama, pukul sebelas lebih sepuluh menit. Kakiku benar-benar terasa kaku setelah beberapa jam dipaksa untuk berdiri. Beberapa menit kemudian kereta memperlambat lajunya, lalu berhenti disebuah stasiun. Aku tak tahu. Ku lihat sekeliling stasiun yang pandangannya dapat kujangkau dari arah tempat dudukku. Sudah sampai Solo. Mungkin kurang satu atau dua jam an lagi untuk sampai di Jogja.

Kira-kira lima belas menit kemudian kereta berjalan lagi. Aku benar-benar lelah. Semalam jam tidurku kurang, belum lagi aku harus berdiri beberapa jam dalam kereta. Dan aku mulai mengantuk saat angin sepoi-sepoi mulai meniup masuk dalam kereta. Kuletakkan tasku disebelahku dan kupakai tumpuan untuk tidur sebentar.

*

            Aku terjingkat dari tidurku, segera kulihat tasku. Masih ada disebelahku. Banyak orang bersiap-siap untuk turun. Kulihat stasiun yang familiar. Ternyata aku sudah sampai di Stasiun Lempuyangan. aku tersenyum. Aku berhasil menakhlukkan perjalan Surabaya-Jogjakarta dengan menggunakan kereta ekonomi seorang diri. Lalu aku turun dari kereta. Menghirup nafas panjang. Lega rasanya. Kulihat orang-orang sibuk dengan perjalanannya masing-masing distasiun. Sekarang aku akan mencari becak untuk menuju jalan Malioboro dan mencari penginapan disana. Aku melangkah didepan orang-orang penjual sate ayam dipinggir-pinggir stasiun. Tapi kuputuskan untuk ketoilet terlebih dahulu. Untuk sekedar buang air kecil dan cuci muka. Namun saat aku keluar dari toilet, ku lihat ada sorang gadis kecil yang terlihat kebingungan. Mungkin sekitar umur delapan tahunan. Gadis cantik dengan dress berwarna pink. Kudekati dia yang hampir menangis.
“Kenapa, dek?” aku jongkok didepan gadis itu.
“Ibuk mana?” dia setengah menangis.
“Loh, kamu hilang? Namamu siapa?” tanyaku meredakan tangisnya.
“Rina,” jawabnya sesenggukan.
“Kakak anter ketempat informasi, yah? Biar dicarikan ibumu,” hiburku.
Dia mengangguk. Lalu kugandeng tangannya. Tapi beberapa langkah kemudian seorang wanita berlari kearah kami.
“Rina!” katanya ditengah larinya.
“Ibuk!” jawab Rina.
Lalu aku melepaskan gandengannya. Ibunya menghapiri dan memeluknya. Kulihat ibunya menangis. Memeluk anaknya erat-erat. Terus menangis.
“Ibuk minta maaf, nduk,” kata ibunya seraya menciumi pipi Rina.
Lalu ia kembali memeluk putrinya.
Entah kenapa tiba-tiba aku seperti melihat sesuatu dipikiranku. Aku teringat sebuah kenangan yang sempat bertahun-tahun kulupakan. Dan kenangan itu muncul kembali. Terlihat jelas dimataku. Aku… aku dulu pernah menjadi seorang Rina. Aku dulu pernah hilang saat mama mengajakku kepasar.
“Mbak, makasih, yah…” kata-kata wanita berumur 30 tahunan itu membuyarkan pikiran flashbackku.
“Oh, iy-iya, bu. Mari, bu,” kataku dengan suara yang entah kenapa menjadi bergetar karena memory lama itu. Kemudian aku berlalu.

Aku berjalan kepinggir, bersandar kedinding. Mencari tumpuan tubuhku yang gemetaran. Aku kembali menyusun pikiranku yang terbuyarkan tadi. Kini aku masih dapat melukis dengan jelas wajah takut mama saat ia kehilanganku. Aku bisa merasakan butiran-butiran bening nan suci yang keluar dari mata mama saat ia menemukanku. Aku masih ingat saat mama menemukanku, ia menciumi pipiku dengan rasa kekhawatiran. Dan aku ingat jelas bagaimana hangat dan tentramnya pelukan mama saat menemukanku dalam keadaan takut dan ia berusaha menenangkanku dalam ketakutannya sendiri. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan bagaimana takutnya mama kehilanganku. Mungkin saja. Mungkin saja kemarin malam mama merasakan hal itu lagi. Mungkin mama marah karena mama takut kehilanganku untuk kedua kalinya. Mungkin saja mama khawatir sesuatu yang buruk terjadi padaku. Mungkin saja mama takut untuk tak bisa mendengar suaraku lagi, tak bisa melihat senyumku lagi, tak bisa menciumiku lagi, tak bisa menenangkanku dengan pelukannya lagi. Mungkin saja mama terlalu menyayangiku sampai ia terlalu takut untuk kehilanganku. Dan aku… bagaimana denganku? Sekarang aku berdiri disini. Mencoba meninggalkan orang paling mulia dan yang paling mencintaiku. Bagaimana aku bisa begini? Berencana membuat menangis wanita yang tak pernah ingin melihatku menangis. Makhluk macam apa aku ini? Ya, Allah! Mama! Maafkan aku…

            Lama aku terdiam dalam pikiranku, dalam tangisku. Ku usap air mataku, namun kemudian ada susulan air mata lagi yang terjatuh. Ku usap lagi. Dan kutahan sekuat tenaga air mata yang akan jatuh berikutnya. Lalu aku bangkit dan keluar stasiun. Beberapa tukang becak mencoba menawarkan jasanya untuk mengantarku ketempat tujuan, namun ku tolak dengan sebaik mungkin. Langkahku menuju pintu masuk stasiun. Ku cermati jadwal pemberangkatan menuju Surabaya. Ku temukan. Pukul 14.00. ku liha jam tanganku, jam satu lebih dua puluh menit. Aku segera membeli tiket, dan bergegas masuk kembali kedalam peron, menunggu keretaku untuk kembali ke Surabaya.

*

            Kamar itu benar-benar sunyi. Terdengar suara lirih seorang wanita yang sedang shalat. Diakhir shalatnya wanita itu berdzikir. Kemudia mencurahkan isi hatinya kepada Sang Maha Penciptanya.
“Ya Allah, hamba tidak pernah bermaksud kasar dengan anak hamba. Aku hanya takut sesuatu yang burk terjadi pada anak hamba, ya Allah. Hamba benar-benar takut. Benar-benar takut!” wanita itu menangis, “Lindungilah anak hamba dari segala niat jahat dan segala bahaya, beri dia keselamatan dunia akhirat, berilah dia jalan yang lurus, dan selalu akan diri-Mu, ya Allah. Amin.” isaknya dalam doa.
            Beberapa menit kemudian, wanita itu bangkit dari duduknya dan menuju dapur. Mengambil beberapa bahan dari coolkas. ‘aku akan memasak masakan kesukaan Niya,’ batinnya sambil tersenyum.

*

            Alhamdulillah, sudah sampai Surabaya. Kulihat jam dinding besar yang tergantung didinding stasiun. Jam Sembilan lebih seperempat. Aku berlari keluar stasiun. Menunggu angkutna umum yang menuju kearah rumahku dengan tidak sabar. Kulihat angkutanku datang. Ku cegat, dan segera aku masuk. Perjalanan pulang ini terasa begitu lama. Angkuta tumpanganku berhenti pas didepan gang rumahku. Aku bergegas turun dan berlari . sampai tiba ak didepan rumah. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul sepuluh kurang. Aku membuka pintu.
“Assalamualaikum, Mah!” salamku.
Aku segera berlari masuk rumah.
“Mamah?” ku cari mamaku.
Dan kutemukan ia tengah duduk dimeja makan. Beliau berdiri, menatapku khawatir. Aku segera memeluknya. Memeluk erat. Aku menangis.
“Mah, maafkan Niya, Mah,” tangisku dalam peluknya.
Mama balas memelukku. Pelukannya nmasih terasa hangat dan tentram. Ia mengusap kepalaku.
“Niya, minta maaf, mah. Niya udah kasar sama mama kemaren. Niya salah, Mah. Niya minta maaf,” aku semakin menangis.
“Iya, sayang. Sama-sama, Mama juga minta maaf kalau Mama terlalu banyak melarangmu, itu karena Mama sayang sama kamu, nak,” suara mama bergetar. Sepertinya menangis tapi beliau menahannya.
“Nggak, Mah. Niya yang salah. Niya minta maaf,” kucium pipi mama.
Mama mencoba menenangkan tangisku dan menahan air matanya. Ia mengusap rambutku lalu kepipi, kemudian tersenyum.
“Oiya, Mama sudah bikinin makanan kesukaanmu. Makan, yuk,” tangan mama menuntunku ke meja makan.
Ku makan masakan mama dengan lahap, tanpa sisa. Mama tersenyum melihatku yang dengan lahap memakan masakannya. Ku lirik jam dinding ruang makan. Sudah jam dua belas malam. Sebentar lagi sudah dini hari. Aku baru ingat sekarang tanggal 21 Desember. Sebentar lagi tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Kudekati mama yang duduk dikursi depanku. Aku duduk dibawahnya. Ku genggam tangannya yang hangat.
“Selamat Hari Ibu, Mah,” kataku lalu mencium tangan mama.
Mama mengusap kepalaku, “Terimakasih, sayang,”.

            Ya Allah, berilah Mama umur panjang dan kesehatan. Agar beliau akan selalu bisa menasihatiku saat jalanku tak terarah, dan selalu mengingatkanku kepada-Mu, ya Allah. Amin…

*

            

3 komentar:

  1. jadi pengen nangis mbak....
    bagaimanapun 'liar'nya seseorang klo berurusan dgn orang tua, akhirnya jadi anak kecil juga..
    btw keren banget cerpennya ^_^'

    BalasHapus
  2. maap Viera baru bisa baca artikelmu, soalnya kmaren2 q bnyak beban pikiran dan nanti takutnya pnilaianku jadi subjektif...
    q hanya ngasih feedback sebagai seorang pembaca saja yah...

    sama seperti artikel sebelumnya yg bertemakan Ibu, aspek yang aku lihat itu sama..

    kalo menurutku tulisanmu ini sekedar memaparkan sebuah latar cerita saja, namun menggambarkan kondisi dimana seorang anak yang kurang respect, berjiwa pemberontak pada orang tua. ada nilai plus buat mengangkat permasalahan dan memberikan solusi berupa sikap moral positif.

    bahasa yang kamu tulis mencerminkan keseharian gadis itu, kalo q lihat ceritanya bisa diadaptasi dari kisah nyata. pilihan tata bahasa (diksi) yang sudah bagus, sesuai dengan tema yang kamu pilih. untuk latar atau setting merupakan aspek sangat perlu ditonjolkan, pada tulisanmu ini kalo aku lihat uda bagus sesuai dengan alur cerita. namun karena ni tergolong dalam cerpen maka harus pinter2 melakukan hidden pada alur atau plot yang tidak perlu ditampilkan...

    bagus banget kontennya...
    sekali lagi aku ucapin makasih atas artikelnya...

    BalasHapus