Sabtu, 29 September 2012

Ibu itu (tidak) Sempurna



‘Kriiiinggg…’
Bel istirahat sekolah berbunyi. Sebagian anak berhambur keluar kelas. Satria, anak laki-laki yg duduk dikelas 2 SMA tak turut serta berhambur keluar kelas seperti teman-temannya . Ia masih menuntaskan soal-soal dibukunya. Coretan-coretan angka dikertas buramnya masih ia mainkan . Matematika bab ini membuatnya benar-benar penasaran.
“Istirahat dulu, Sat” kata laki-laki teman sebangkunya.
“Oh, iya. Kamu duluan aja, aku bawa makanan dari rumah kok,” Satria menoleh sebentar pada pemilik suara tadi, lalu kembali pada jajaran angka diatas mejanya .
“Oke, gue kekantin dulu, sob”
“Oke”
Satria meletakkan lembaran buramnya diantara buku-buku soal nya. Tangannya meraih bekal dilaci bangku.
‘Lupa gak bawa minum’ pikirnya .
Ia melangkah menuju kantin. Lalu langkahnya terhenti . Ia mendengar segerombolan anak laki-laki yang notabe nya paling dikagumi disekolah tampak nya sedang berseloroh dengan keras dengan tujuan tertentu.
“Eh, kemaren malem, gue sama Edo lihat ada bencong kena razia, bro!” kata Nino, anak yang selalu menjadi seorang yang paling berkuasa disana, tentang uang, tentang wanita, tentang teman-teman, mungkin tidak tentang akademi, murid yang paling dikagumi oleh murid-murid wanita disekolah.
“Iya, bener banget! Dan sepertinya, gue ada kenal sama salah satu bencongnya, bro!” sahut Edo.
“Gak salah lagi! Tuh bencong pasti ibunyaaaa……….” tambah Nino sambil melirik ditempat Satria berdiri.
Satria melangkah cepat kearah Nino dan melemparkan kepalan tangannya tepat di tulang pipi Nino, membuatnya jatuh oleng. Teman-teman Nino berusaha menghalangi, tapi dengan perlawanan seadanya tangan satria kesana-kemari membalas pukulan teman-teman Nino, lalu pukulannya kembali terfokus pada Nino. Keributan itu langsung menyita perhatian guru yang ada disekitar lokasi. Seorang guru laki-laki setengah baya berusaha melerai dibantu oleh satpam-satpam sekolah yang bertindak sigap.
“Lu udah berkali-kali menghina ibu gue, brengsek lu!” suara Satria yang begitu keras membuat puluhan murid yang ada disekitar terpaku . Satria yang pendiam kini terlihat jauh lebih menyeramkan dari preman jalanan.
“Udah-udah, sekarang bawa mereka keruang BP, pak” kata guru berperawakan angkatan laut itu kepada satpam-satpam.
“Kenapa kamu seperti it, Satria?” Tanya wanita cantik berusia dua puluh dua tahun yang berprofesi sebagai guru BP.
Satria diam saja. Tidak menjawab. Begitu pula murid yang lainnya. Beberapa guru yang ada disana mempunyai alibi yang sama dalam pikirannya, namun mereka hanya ingin mendengar langsung dari mereka yang bersangkutan.
“Saya sudah memanggil orang tua kalian untuk datang kesini, dan saya terpaksa membei skors pada kalian semua,” tambah wanita berkacamata dengan frame merah itu.

*

               Ruang tamu itu begitu hening. Rumah berukuran 7x9 meter itu benar-benar mendadak sunyi. Satria duduk tertunduk disofa lama ruang tamunya. Ibunya melangkah dari teras depan yang memajang lemari etalase kaca berisi makanan yg ia jual setiap hari, membawa segelas es teh ditangannya . Lalu duduk disebelah Satria yg masih tertuduk penuh penyesalan.
“Diminum, nak,” kata ibunya menyodorkan gelas dengan gambar logo kecap botolan.
Satria mengambil gelas es teh dari tangan ibunya, meminumnya sedikit, lalu meletakkan dimeja didepan tempatnya duduk.
“Kenapa kamu bisa seperti itu, Nak?” ibunya memandang lemah namun sorot matanya tajam menembus ruang-ruang mata Satria.
Satria berusaha menatap mata ibunya. Begitu kuat sinar mata ibunya untuk berusaha menutupi rasa lemah yang ada didalamnya. Tak kuat menahan sinar mata itu, Satria menunduk.

*

               Siang itu adalah acara pengumuman perlombaan Sains tingkat SMP negeri, Satria adalah perserta nya. Dan sebagai seorang ibu, aku harus datang untuk acara penting itu. Apapun hasilnya, Satria adalah anak yang selalu membuatku bangga. Satria mungkin sedang gugup, dan aku juga tak pernah segugup ini sebelumnya.
Juara II, dan III sudah diumumkan, dan itu jatuh ketangan anak lain. Satria benar-benar terlihat kehilangan semangat. Aku menatap sekitar, beberapa orangtua terlihat sama gugupnya denganku, beberapa yang lainnya terlihat patah semangat.
Suara Panitia lomba mengagetkan lamunan kilatku.
“Juara pertama, diraih oleh, ananda Satria Yanuar Pradana dari SMP Negri……………………” teriakan panita itu tak terdengar lagi olehku. Aku bersyukur ya Allah, engkau mengirimkan aak laki-laki ini kepadaku, ini adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Aku menangis pelan, bahagia, aku adalah orang paling bahagia disini. Semua riuh renyak tepuk tangan orang-orang seakan tak terdengar ditelingaku, begitu melambat hingga aku tersadar saat aku melihat Satria berdiri diatas panggung menyampaikan sebuah pidato singkat.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah kepada Allah SWT yang sudah memberi saya kesempatan untuk mengikuti lomba Sains dan berdiri disini untuk memegang piala Juara I. Terimakasih untuk Ibu saya, yang selalu mengingatkan saya untuk belajar, sholat, makan, tidur. Ibu saya adalah orang paling hebat dalam hidup saya, apapun yang orang-orang katakan tentang beliau, bagi saya, ibu saya adalah sang juara. Karena beliau lah yang selalu membantu saya sampai akhirnya saya dapat membawa pulang piala ini. Terimakasih ibu.
Aku bahagia, aku menangis, aku…aku tak tahu harus berkata apalagi. Aku ingin memeluknya diantara ratusan orang yang ada disini. Terimakasih ya Allah…

*

               Satria masih menunduk, tak kuasa untuk memberi penjelasan tentang alasan perkelahiannya disekolah tadi. Ibu nya memang kuat, namun hatinya benar-benar lembut.
“Kamu anak yang baik, Nak. Ibu tahu pasti ada suatu alasan yang membuatmu seperti ini,” kata ibunya dengan suara masih melemah.
Satria ingin menatap mata itu, ibu selalu memahami apa yang ada dalam pikirannya dengan bahasa matanya. Tapi ia benar-benar tak kuasa untuk menemukan mata itu kembali. Ia hanya bisa terdiam, dan saat itulah ia mulai menahan tangisnya.

*

               Satria berlari kecil kearahku. Tubuh mungilnya memakai baju gamis berwarna putih terlihat begitu menggemaskan. Pipinya yang merona menghiasa kulit putihnya.
“Ayo, pecinya dipakai,” kataku.
“Ibu antar Satria kan?”
“Iya,”
Anak ini masih kelas satu SD, tapi guru ngajinya sudah mengikut sertakan dia untuk lomba mengaji dikampung. Kemampuannya memang luar biasa dalam segala hal.
“Ibu pakai baju muslim, ya,”
Aku diam sejenak. Lalu mengangguk, lantas masuk kamar. Aku memandang baju muslim biru muda lengkap dengan jilbab putihnya yang tergantung dipintu lemari. Baju muslim pertamaku, itu masih baru aku beli, hanya untuk menghadiri acara lomba mengaji Satria.
“Ibu, ayo, nanti Satria telat,”
“Iya-iya, sabar, ya…” lantas ku buka pintu kamarku.
“Waaaahhh!!! Ibu cantik kalau pakai kerudung!” sinar mata Satria begitu takjub menatapku.
“Oiya?” tanyaku menggoda.
Satria mengangguk cepat, wajahnya begitu lugu. Keluguan itu membuktikan bahwa ia berucap jujur.
“Ibu pakai kerudung terus, ya, ibu cantik!” katanya lagi.
Aku terdiam. Siap kah aku? Ini bukan tentang sebuah kecantikan atau apapun, ini tentang hati. Aku menatap Satria, wajahnya begitu terang seperti malaikat. Mungkin saja dia memang malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
“Ya, bu, ya?”
Ia masih menanti jawabanku. Aku masih terdiam emnatap wajah tak berdosa itu. Tanpa sadar aku mengangguk.
“Janji, bu?”
“Iyaaa… Ayo berangkat,”

*

               Satria mengusap air matanya yang terlanjur jatuh dipipi, lalu terisak. Ibunya memegang bahu Satria dengan lembut.
“Naaakkk, ceritakan saja apa yang terjadi…”
Satria masih tak kuat untuk bercerita. Dengan segala sisa kekuatan yang ada, mata basahnya menatap mata ibu nya, mengharapkan belas kasih agar ibunya paham tanpa ia bercerita. Ibu nya terdiam, menahan air mata yang keluar diambang kelopak matanya. Tangan besar ibunya menggenggam tangan Satria, berusaha member kekuatan kepada anaknya yang tampak melemah.

*

“Astaga, nih bayi apa sih mau nya, nangis terus! Dikssih susu juga udah nggak tidur-tidur!”. Aku menatap jengkel bayi umur satu mingguan yang menangis kasur kapuk yang sprei nya sudah sedikit kumal.
“Yuniiiii…” itu suara Susan.
“Masuk aja, Cyn!” teriakku gemulai dari kamar.
“Ya ampyun, Cyn! Udah gue bilang deh, lu taroh aja dipanti asuhan, susah banget, sih!”
“Panti asuhan moyang lu!” jawab gue sembari menggendong bayi laki-laki didepanku.
“Dari pada lu yang repooottt,” jawabnya
“Ssssttt… Diem, dia udah tidur nih!” kataku.
“Ya udah, cap-cus, Cyn!”
“Kayaknya gue hari ini nggak keluar dulu deh,”
“Haaaahhh??? Maksud loooo???”
“Iya, lu aja, bencong! Gue gak tega juga ninggalin dia sendirian,” kata ku sembari tersenyum memandangi bayi kecil yang mungil digendonganku.
“Ya udah deh, gue duluan, daadaaaahhh…” suara Susan lebih parah gemulainya dibanding aku.
Aku menatap kembali wajah mungil dalam gendonganku. Begitu tanpa dosa. Mungkin Tuhan mengirimkan makhluk tak berdosa ini agar aku berhenti berbuat dosa. Ya, mungkin saja. Tapi, entahlah…

               Siang itu Susan datang menangis padaku. Tangisnya tanpa ada yang dibuat-buat. Seperti sebagian dirinya yang lain keluar.
“Lu kenapa, Nek?”
Susan menyodorkan selembar kertas padaku. Ini apa? Aku bur4u-buru membacanya tanpa tanya. Ya, Tuhan! Ini Surat Keterangan Dokter yang menuliskan bahwa Susan positif HIV.
“Sabar ya, Cyn,” aku tak yahu harus berkata apa-apa lagi.
Susan masih menangis. Lalu dia menguatkan diri untuk berbicara.
“Tapi ini masih stadium awal, kata Dokter asal rajin terapi, jaga kondisi, dan minum obat, masih bisa disembuhkan,” katanya, lalu menangis lagi.
“Iya, syukurlah, tetep positif, Susan!” aku menggenggam punggung tangannya.
Tangan Susan ganti menggenggam tanganku.
“Kamu juga harus periksa, Yuni! Harus!”
Aku mengangguk cepat. Ya, aku juga harus segera periksakan diri. Sebelum semuanya terlambat.

               Dadaku berdegup kencang saat menerima surat dari laboratorium. Sesekali kulihat makhluk kecil yang ada digendonganku. Dia menatapku. Seolah-olah dia mengerti kecemasanku. Ku buka perlahan. Kertas ini terbuka, namun mataku masih tertutup. Ku kumpulkan seluruh kekuatanku untuk membuka mataku. Dan membaca apapun hasilnya itu.
Terimakasih, Tuhan!!! Aku baik-baik saja.
Aku menangis bahagia. Mungkin Tuhan benar-benar mengirim malaikat kecil ini agar aku berhenti dari kebiasaan-kebiasaan burukku. Dan Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat bayi mungil ini. Ya, memang. Sudah saatnya aku berhenti! Aku akan menamakannya Satria. Dia adalah pahlawan kecilku.
Aku menyentuh hidungnya, bayi itu tersenyum, entah apa yang ia senyumkan. Kucium keningnya untuk pertama kali.

*

               Satria menatap tangan ibunya yang menggenggam tangannya. Seolah-olah member sedikit kekuatan dalam dirinya. Satria menguatkan diri untuk menatap mata ibunya kembali. Mata itu sedikit membasah, namun begitu hangat dan tentram didalamnya, begitu penuh dengan kasih yang setiap hari ia butuhkan. Bibir ibunya bergetar.
“Nak, apa ini tentang ibu?”
Suaranya begetar, begitu lemah, namun benarbenar menusuk jantung dan mencekat kerongkongan Satria. Ia tak menjawab, ia menangis dipangkuan ibunya.
“Maafkan aku, Nak,” kata ibunya menangis.
Satria bangkit dan menatap wajah ibunya. Sudah ada garis-garis keriput disana-sini, sudah banyak berubah yang ada dari bentuk ibunya. Tapi kasih sayangnya tak pernah berubah, mata damai itu, tangan hangat itu, rasa pada masakannya, omelan kecilnya, semua itu tidak berubah. Bahkan janjinya tidak pernah berubah untuk mengenakan kerudung.
“Ibu ceritakan kejadian sebenarnya saat ibu bertemu kamu, Satria,” kata-katanya bergetar digenangi oleh air mata yang keluar dimata lebar itu.
“Nggak perlu, Bu, Satria nggak pengen tahu,”.
Satria menarik nafas dalam-dalam. Memberi jeda untuk sidikit menenangkan fikirnya.
“Bu, apapun yang mereka bilang tentang ibu. Ibu adalah orang yang selalu jatuh bangun untuk mebesarkan Satria, ibu adalah orang yang tak pernah membiarkan Satria kelaparan, ibu adalah orang yang selalu ada disaat Satria butuh. Ibu memang bukan seorang ibu yang sempurna, tapi bagi Satria, semua yang ibu lakukan buat Satria menunjukkan bahwa ibu sudah cukup sempurna, nggak perlu untuk menjadi yang sempurna, cukup yang terbaik. Ibu orang yang terbaik buat aku,” Satria menangis, mencium tangan ibunya. Tangan yang membesarkannya seorang diri.

*

               Angin malam semakin menusuk, menunjukkan kekuatan dinginnya. Seorang gadis berdiri dipinggir jembatan. Menangis. Menggendong seorang bayi yang masih berumur hari.
“Eeeehhh… Neneeekkk!!! Lu mau ngapain berdiri disitu?” seorang banci berlari mendekati gadis berumur 19 tahunan itu.
Gadis itu masih menangis. Tak ada jawaban.
“Lu ditinggalin pacar lu? Gak tanggung jawab ya?” kata banci dengan tanktop merah dan rok pendek itu asal .
Gadis itu menoleh kearah banci brambut lurus itu. Lalu mengangguk.
“Ya, ampyuuunnn!!! Dasar cowok bisanya bikin, udah jadi gak tanggung jawab! Bencong deh!”
Gadis itu hanya menatap banci yang megoceh disebelahnya.
“Trus lu mau bunuh diri? Anak lu kagak tau apa-apa juga mau lu ajakin mati? Gila banget nih lampir! Udah, masalah kayak gini bisa diselesain, gak usah pake bunuh diri, Cyn!”
Gadis itu kembali menangis, tangisnya semakin meledak.
“Saya sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Orang tua saya sudah nggak mau menerima saya lagi,”
“Aduuuhhh… Udah, donk! Kan masih bisa dipikirin lagi jalan keluarnya, jangan keburu bunuh diri! Ntar gentayang loh! Hiii…Serem!!! Ayo, turun, sini gue bawain anak lu, terus lu turun, Okeeeyyy!”
Banci itu mengambil bayi laki-laki yang ada dalam gendongan gadis itu. Bayi yang sedari tadi menangis itu ditimangnya. Tangisnya sedikit mereda. Lantas ia menoleh kearah gadis itu. Sudah tak ada lagi. Gadis itu sudah terjun bebas. Meninggalkan bayi dalam gendongannya yang kelak akan menjadi malaikat kecil dalam hidupnya.

***

2 komentar: