Selasa, 31 Juli 2012

Ketika Sesuatu Berbeda



        Diambang jendela fajar aku berdiri menantang udara segar dengan asap rokokku. Sinar itu masih memerah, matahari seolah-olah masih malu-malu menatap tubuhku yg siap menyambutnya tanpa sehelai benangpun. Bunyi tembakau dan kertas yg terbakar perlahan terdengar jelas diantara dimensi sekitar yang tanpa suara.  Asap sisa itu kukeluarkan dari paru-paru, sebagian terhempas keluar kamar, sebagian berputar-putar mencari jalan keluar disekitar kamar bercat kuning dengan ukuran 5x6 yg tidak terlalu layak disebut hotel, lalu memudar untuk sekedar menyisakan bau saja. Dari arah belakang, seseorang memegang pundak telanjangku, aku menoleh, sebenarnya tanpa meolehpun aku tau siapa dia. Tapi aku ingin menoleh untuk sekedar memberi senyum kepada sipemegang itu. Dia menyodorkan kemeja abu-abu miliknya. Ku pakai, sedikit kebesaran, tapi toh itu bukan masalah yang sampai harus datang kepengadilan. Namanya Axel . Yang masih menatapku seperti beberapa menit yg lalu . Seperti saat sebelum aku menyalakan rokok putih ini. Tatapannya begitu datar, namun penuh arti. Ia berjalan mendekat, lalu mencium keningku yg tertutup poni.
“Reese, kamu sudah bercerita sepanjang malam,” Axel meraih rokokku yg terselip diantara jari telunjuk dan tengahku yg tinggal seperempat. Lalu melemparnya kesudut ruangan.
Aku masih malas berkomentar. Mungkin saja bukan malas, tapi terlalu takut. Takut nantinya menangis.
         Kemudian Axel menunduk. Wajahnya tertutup rambut depannya yg lurus. Itu adalah pose Axel yang menjadi favoritku. Rambutnya memang begitu indah. Kuraih bagian bawah kaosnya, hendak kubuka, tapi dia segera menyanggah.
“Rees, kita baru saja selesai melakukannya,” katanya sambil tersenyum.
         Senyumnya sedikit surut, menanti tanggapanku atas perkataannya tadi.
“Ya. Cuma kamu yang mengerti dengan jelas seperti apa rasanya,” hanya itu jawabanku.
“Jika kamu ingin menangis, menangislah, Rees,”
“Aku berusaha untuk kuat, Ax,”
“Sekuat apapun seseorang, dia tetap membutuhkan waktu untuk menangis,”
         Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara yg kutarik lewat hidung masih begitu dingin. Dan ku hembus dengan paksa. Aku duduk dikusen jendela. Axel masih berdiri didepanku. Menatap dengan penuh kasih yang seakan tak pernah bisa habis. Lalu turun kehidungnya yg mungil namun tajam, dan berakhir dibibirnya yg merah dan tak pernah tersentuh oleh filter rokok. Lantas ku kembalikan tatapanku pada matanya. Mata yang biasanya begitu hangat dan bersahabat, kini terlihat begitu banyak beban yg ada didalamnya, namun aku tak pernah menemukan titik lelah disitu. Sorot matanya seolah-olah mengatakan, “Tenanglah, biar aku yang menanggungnya semua,”. Jemariku menelusuri rambutnya, kini sudah hampir menyentuh bahu. Aku berjinjit. Berusaha mendekatkan bibirku dengan bibirnya. Sedikit susah untuk berusaha sendiri. Axel lebih tinggi 12 cm dariku. Hingga dia harus mennduk untuk membantu usahaku. Ku kecup pelan bibir itu. Sebentar namun terasa begitu tenang dihati. Lalu aku kembali menatapnya. Masih dengan sinar sebelumnya.
“Kamu cantik, Rees,” katanya dengan nada takjub, seolah-olah dia baru semalam berkencan denganku dan melupakan 1 tahun dia telah bersamaku.
“Dan kamu terlihat mengerikan,” sahutku sambil tersenyum kecil.
Keseriusan emosinya langsung terenggut oleh senyum spontannya. Senyum kami begitu memaksa, namun begitu cukup untuk merilekskan otot wajah kami yang tegang semalaman. Aku menambah frekwensi tawaku, namun benar-benar sangat memaksa. Sepertinya itu aku lakukan untuk menutupi sesuatu. Ya, tangisku. Aku benar-benar tidak bisa membedakan tawa dan tangis detik ini. Emosi ini bercampur dengan dipaksakan. Axel segera merengkuhku dalam pelukannya, begitu erat, mencium kepalaku begitu dalam. Aku tahu dia juga ingin menangis, tapi ia selalu berusaha untuk tidak melakukannya didepanku. Entah bagaimana cara dia bisa melakukannya, karena sejauh ini aku mencoba, aku selalu kebobolan air mata. Axel selalu mampu mendamaikanku disaat mereka semua menghujat kekuranganku, bukan aku saja, tapi kami berdua. Itu kenapa aku sangat mencintainya, dan terlalu addict dengannya.
“Ax…” tangisku mereda.
“Ya, sayang…” suaranya sedikit bergetar, mungkin karena usahanya menahan tangis.
“Kenapa kita berbeda?”
Dia terdiam beberapa detik. Lalu memainkan rambut belakangku yg panjangnya sudah hampir setengah punggung. Rambut itu jauh dibawah kwalitas rambutnya sendiri, tapi ia selalu mengagumi rambut kusamku.
“Apa kita harus sama?” jawabnya.
“Lantas kenapa mereka harus benar-benar membenci kita, sampai-sampai kita selalu hidup berpindah seperti ini,”
Lalu ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan pasrah. Tangannya masih membelai rambutku dengan tubuhku yang masih dalam dekapannya.
“Entahlah, Rees,”
“Sepertinya aku memang menjijikkan,” kataku datar.
“Tidak. Kamu makhluk paling indah yang pernah kulihat,” Axel segera menampik ucapanku.
“Apa kamu sedanga menggombal?” godaku.
“Sama sekali,” jawabnya seraya menggeleng.
         Aku terdiam sejenak. Kita memang benar-benar salah, tapi kita tak pernah mampu berbuat apa-apa. Kita saling mencintai. Itulah kesalahannya.
“Aku mencintaimu, Ax,” aku mengecup pelan dilehernya.
“Dan aku sangat,” jawabnya balas dengan mencium keningku.
         Kini matahari sudah sangat percaya diri untuk tampil diujung timur. Aku melepas pelukan Axel. Aku ingin melihat wajahnya dipagi hari. Dan selalu ingin begitu sampai kapanpun. Sinar matahari membantuku menatap bayangan dirinya dititik retina. Begitu jelas aku melihat sosok dihadapanku. Wanita berusia 22 tahun yang terpaut 1 tahun diatasku itu begitu cantik dan juga begitu tampan, dan auranya begitu damai. Ini memang sebuah kesalahan besar, tapi aku sangat mencintainya, Tuhan…


***

2 komentar:

  1. Hehehe
    bgs cerpenya,. Smpean pinter olah kata,... Gak tau klo axel cewek jg :)

    BalasHapus
  2. hahaaha .
    aku jg baru tau kalo rocker kayak sampean juga suka baca2 cerpen :D
    makasih yah, udah ngikutin cerpenku, bang :)

    BalasHapus