Diambang jendela fajar aku berdiri
menantang udara segar dengan asap rokokku. Sinar itu masih memerah, matahari
seolah-olah masih malu-malu menatap tubuhku yg siap menyambutnya tanpa sehelai
benangpun. Bunyi tembakau dan kertas yg terbakar perlahan terdengar jelas
diantara dimensi sekitar yang tanpa suara.
Asap sisa itu kukeluarkan dari paru-paru, sebagian terhempas keluar
kamar, sebagian berputar-putar mencari jalan keluar disekitar kamar bercat
kuning dengan ukuran 5x6 yg tidak terlalu layak disebut hotel, lalu memudar
untuk sekedar menyisakan bau saja. Dari arah belakang, seseorang memegang
pundak telanjangku, aku menoleh, sebenarnya tanpa meolehpun aku tau siapa dia.
Tapi aku ingin menoleh untuk sekedar memberi senyum kepada sipemegang itu. Dia
menyodorkan kemeja abu-abu miliknya. Ku pakai, sedikit kebesaran, tapi toh itu
bukan masalah yang sampai harus datang kepengadilan. Namanya Axel . Yang masih
menatapku seperti beberapa menit yg lalu . Seperti saat sebelum aku menyalakan
rokok putih ini. Tatapannya begitu datar, namun penuh arti. Ia berjalan
mendekat, lalu mencium keningku yg tertutup poni.
“Reese, kamu sudah
bercerita sepanjang malam,” Axel meraih rokokku yg terselip diantara jari
telunjuk dan tengahku yg tinggal seperempat. Lalu melemparnya kesudut ruangan.
Aku
masih malas berkomentar. Mungkin saja bukan malas, tapi terlalu takut. Takut
nantinya menangis.
Kemudian Axel menunduk. Wajahnya
tertutup rambut depannya yg lurus. Itu adalah pose Axel yang menjadi favoritku.
Rambutnya memang begitu indah. Kuraih bagian bawah kaosnya, hendak kubuka, tapi
dia segera menyanggah.
“Rees, kita baru
saja selesai melakukannya,” katanya sambil tersenyum.
Senyumnya sedikit surut, menanti
tanggapanku atas perkataannya tadi.
“Ya. Cuma kamu yang
mengerti dengan jelas seperti apa rasanya,” hanya itu jawabanku.
“Jika kamu ingin
menangis, menangislah, Rees,”
“Aku berusaha untuk
kuat, Ax,”
“Sekuat apapun
seseorang, dia tetap membutuhkan waktu untuk menangis,”
Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara yg
kutarik lewat hidung masih begitu dingin. Dan ku hembus dengan paksa. Aku duduk
dikusen jendela. Axel masih berdiri didepanku. Menatap dengan penuh kasih yang
seakan tak pernah bisa habis. Lalu turun kehidungnya yg mungil namun tajam, dan
berakhir dibibirnya yg merah dan tak pernah tersentuh oleh filter rokok. Lantas
ku kembalikan tatapanku pada matanya. Mata yang biasanya begitu hangat dan
bersahabat, kini terlihat begitu banyak beban yg ada didalamnya, namun aku tak
pernah menemukan titik lelah disitu. Sorot matanya seolah-olah mengatakan,
“Tenanglah, biar aku yang menanggungnya semua,”. Jemariku menelusuri rambutnya,
kini sudah hampir menyentuh bahu. Aku berjinjit. Berusaha mendekatkan bibirku
dengan bibirnya. Sedikit susah untuk berusaha sendiri. Axel lebih tinggi 12 cm
dariku. Hingga dia harus mennduk untuk membantu usahaku. Ku kecup pelan bibir
itu. Sebentar namun terasa begitu tenang dihati. Lalu aku kembali menatapnya.
Masih dengan sinar sebelumnya.
“Kamu cantik, Rees,”
katanya dengan nada takjub, seolah-olah dia baru semalam berkencan denganku dan
melupakan 1 tahun dia telah bersamaku.
“Dan kamu terlihat
mengerikan,” sahutku sambil tersenyum kecil.
Keseriusan
emosinya langsung terenggut oleh senyum spontannya. Senyum kami begitu memaksa,
namun begitu cukup untuk merilekskan otot wajah kami yang tegang semalaman. Aku
menambah frekwensi tawaku, namun benar-benar sangat memaksa. Sepertinya itu aku
lakukan untuk menutupi sesuatu. Ya, tangisku. Aku benar-benar tidak bisa
membedakan tawa dan tangis detik ini. Emosi ini bercampur dengan dipaksakan.
Axel segera merengkuhku dalam pelukannya, begitu erat, mencium kepalaku begitu
dalam. Aku tahu dia juga ingin menangis, tapi ia selalu berusaha untuk tidak
melakukannya didepanku. Entah bagaimana cara dia bisa melakukannya, karena
sejauh ini aku mencoba, aku selalu kebobolan air mata. Axel selalu mampu
mendamaikanku disaat mereka semua menghujat kekuranganku, bukan aku saja, tapi
kami berdua. Itu kenapa aku sangat mencintainya, dan terlalu addict dengannya.
“Ax…” tangisku
mereda.
“Ya, sayang…”
suaranya sedikit bergetar, mungkin karena usahanya menahan tangis.
“Kenapa kita
berbeda?”
Dia
terdiam beberapa detik. Lalu memainkan rambut belakangku yg panjangnya sudah
hampir setengah punggung. Rambut itu jauh dibawah kwalitas rambutnya sendiri,
tapi ia selalu mengagumi rambut kusamku.
“Apa kita harus
sama?” jawabnya.
“Lantas kenapa
mereka harus benar-benar membenci kita, sampai-sampai kita selalu hidup
berpindah seperti ini,”
Lalu
ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan pasrah. Tangannya
masih membelai rambutku dengan tubuhku yang masih dalam dekapannya.
“Entahlah, Rees,”
“Sepertinya aku memang menjijikkan,” kataku datar.
“Sepertinya aku memang menjijikkan,” kataku datar.
“Tidak. Kamu makhluk
paling indah yang pernah kulihat,” Axel segera menampik ucapanku.
“Apa kamu sedanga
menggombal?” godaku.
“Sama sekali,”
jawabnya seraya menggeleng.
Aku terdiam sejenak. Kita memang
benar-benar salah, tapi kita tak pernah mampu berbuat apa-apa. Kita saling
mencintai. Itulah kesalahannya.
“Aku mencintaimu,
Ax,” aku mengecup pelan dilehernya.
“Dan aku sangat,”
jawabnya balas dengan mencium keningku.
Kini matahari sudah sangat percaya diri
untuk tampil diujung timur. Aku melepas pelukan Axel. Aku ingin melihat
wajahnya dipagi hari. Dan selalu ingin begitu sampai kapanpun. Sinar matahari
membantuku menatap bayangan dirinya dititik retina. Begitu jelas aku melihat
sosok dihadapanku. Wanita berusia 22 tahun yang terpaut 1 tahun diatasku itu
begitu cantik dan juga begitu tampan, dan auranya begitu damai. Ini memang sebuah
kesalahan besar, tapi aku sangat mencintainya, Tuhan…
***
Hehehe
BalasHapusbgs cerpenya,. Smpean pinter olah kata,... Gak tau klo axel cewek jg :)
hahaaha .
BalasHapusaku jg baru tau kalo rocker kayak sampean juga suka baca2 cerpen :D
makasih yah, udah ngikutin cerpenku, bang :)