Selasa, 06 Desember 2011

Sisi Lain


Angin malam berlarian kencang, sama seperti mobil-mobil yang sesekali melaju dijalan tol ini. Dan kita berdua juga tak seharusnya duduk disini. Dipinggir jalan tol Bandara Juanda. Kita saling diam, hampir seperti orang yang sama-sama sakit gigi.

Jimmy bergerak dari duduknya, gue lirik, cuman ngambil rokok disaku, lalu mundur, dan bersandar dikaca depan mobil. Tiba-tiba ia terjingkat, pletikan tembakau yang terbakar meloncat ke kaus kuning (yang udah keliatan gak kuning-gak putih) molornya. Lalu kembali diam. Entah kenapa secara kompak kita berdua membiarkan suasana hening bergerak diantara kita. Tapi tak lama kemudian dia angkat bicara.
"Nen,"
"Heh?"
"Sini donk, biar romantis gitu!" katanya sambil cengar-cengir.
Gubrak! Nah loh! Dia ngomong romantis tapi kok serem banget jadinya! hahahaaha. Yaudah deh, turutin aja. Gue mundur sampai tepat disamping duduknya. Matanya memandang lurus dan jauh. Masih aja diem, duduk nangkring kayak patung Unair yang gue lihat hampir tiap hari. Biasanya nih, kalo dia diem gini (gak hiperaktif kayak biasanya), brarti dia mau ngomong sesuatu yang penting. jadi inget dia pertama kali nembak gue dikosan Jogja pake surat. hihiihi!
Tangannya melingkar kepundak belakang gue, membuat semakin dekat dengannya. Tangan itu berhasil membuat hangat punggung gue yang gue perkosa melawan angin dengan hanya menggunakan tanktop tipis warna putih. Lalu Jimmy mencium kening gue. Gue suka pas dia cium kening gue. rasanya tentram banget, ya Tuhan. Lalu dia menghisap rokoknya sekali lagi.
"Nen, merid, yuk!,"
"Hah!" Gue kanget gak karuan. langsung duduk tegak menghadapnya sampai-sampai tangannya terlepas dari pundak gue.
Gue lihat dia. Ternyata wajahnya gak kalah kagetnya kayak gue, tapi dia kaget gara-gara lihat jawaban gue.
"Lo ngomong apa sih?"
"Gue ngajakin lo merid,"
"Lo gak salah?"
"Apanya yang salah?"
Gue diem dengan pertanyaan itu. Gue pandang Jimmy, dari atas sampai bawah. Mencari urat bercanda yang ia sembunyikan. Tapi sia-sia. Gak ketemu.
Sekarang jadinya gue yang diam. Dan lagi-lagi kita saling diam. Sama seperti beberapa menit yang lalu.
Gue mikir kata-kata apa yang harus gue ucapin. Tangan gue merogoh tempat rokok di saku celana jeans yang gue potong pendek lalu diam lagi. Mencari inspirasi kata lewat sebatang tembakau.
"Jim,"
"Ya, Nen?"
Gue diam sejenak, mencoba merangkai kata supaya rapi dan gak bikin dia drop.
"Bukannya gue gak mau, tapi sepertinya kita belom siap buat itu,"
Dia diam, dengerin omongan gue yang gak kepingin gue lanjutin. Tapi dia masih nunggu. Emang gue pikirin. Tungguin aja sampe berkarat gak bakalan gue lanjutin kalo lo gak sambungin duluan.
Tapi kayaknya dia gak mau nungguin.
"Kata siapa kita belom siap? Kita udah ngelalui semuanya berdua selama hampir 3 tahun. Kita jalan menuju puluh-puluhan kota berdua, kita bisa nyelesain sama-sama berdua. Sekarang tinggal satu masalah yang belom kita selesain, Nen. Kita balik keJakarta, dan merid disana. Gue yakin kita bisa," katanya sambil menggenggam tangan gue.

Gue diem beberapa saat. Lalu angkat bicara lagi.
"Sekarang kita lihat kita masing-masing dulu, Jim. Gue selalu bikin masalah dimanapun gue berada yang apada dasarnya bukan kemauan gue. Dan elo. Lo mandi aja kalo pas lo inget doank, keramas pun tunggu kalo rambut udah kumel, itupun lo jarang mau pake shampoo, tapi pake sabun mandi. Belom lagi baju lo yang ganti seminggu sekali. Gue bermasalah dan elo berantakan, gimana kita saling perhatiin satu sama lain, sedang kan buat ngurus diri sendiri aja kita belum bisa".
Pandangan Jimmy tertunduk. Dan saat itu juga gue takut. Takut kalo kata-kata gue tadi nyakitin hatinya. Lalu dia tersenyum kecil. Kali ini senyumnya lain, penuh arti, tapi gue sendiri gak tau artinya.
"Nen, gue emang gak perhatiin diri gue, tapi bukan berarti gue gak bisa perhatiin lo, kan. Buktinya gue selalu bisa jemput lo kerja tepat waktu meskipun gue berangkat tanpa mandi. Gue bisa beliin lo makan tiga kali sehari meskipum saat itu gue belum makan sama sekali. Karena gue berusaha, Nen. Gue tetep akan berusaha sampai kapanpun," katanya pelan, namun cukup jelas dan terekam diotak gue.
"Jimmy, sorry. Gue gak bermaksud bikin lo down kayak gini. Gue sayang sama lo, tapi gue cuman takut gagal," kata gue sambil mengusap pipinya.
Dia meraih telapak tangan gue, lalu diciumnya. Kita masih saling diam. Saling pandang. Udah mirip kayak film taon 70an. Sinar matanya terlihat jelas meski jalan tol remang-remang. Didalamnya begitu jujur apa adanya. Saat ini gue pengen banget bilang, 'ya, gue mau merid sama lo, bila perlu sekarang kita langsung pergi ke Jakarta, trus ke KUA, trus bulan madu yang kesekian kalinya', tapi disisi lain gue takut untuk bilang seperti itu. Gue takut Jimmy gak bertanggung jawab, dan gue takut pulang...
"Jim, gue takut pulang," kata gue pelan.
"Gue temenin, Nen. Gue gak akan biarin lo pulang sendiri. Gue temenin lo sampai lo berada didepan bokap lo, dan gue ngomong kalo gue mau merid sama lo,"
"Lo yakin bisa?"
"Gue selalu berusaha yang terbaik buat lo, Nen,"
Bussseeettt!!! Kata-katanya! Baru kali ini gue denger kata yang beginian dari Jimmy. Bikin gue pengen nangis. Gue peluk dia, sekalian sembunyiin air mata gue. Entah lah, kenapa bisa gue tenang banget berada dipelukannya, meskipun dia jarang mandi, jarang ganti baju, tapi tetep ada sesuatu yang lain yang bikin gue betah lama-lama dipelukannya. Gue cium bahunya tempat dagu gue bersandar, lalu naik ke lehernya yang sedikit tertutup rambutnya yang selalu tak pernah kurang atau lebih dari sepudak. Astaga, gue sayang banget sama dia. Terimakasih Tuhan, udah kasih Jimmy buat aku. Dia memang bukan orang yang sempurna, tapi dia terbaik buat aku, Tuhan, Terimakasih.

“Hahahahahaaha!” tiba-tiba Jimmy ketawa.

“Napa lo?”

“Lo cium-ciumin gue, bikin gue merangsang!” katanya sambil ketawa.

Sialan! Dasar! Ngeres mulu pikirannya! Gak ngerti apa mood gue udah romantis, buyar dah!

“Setan lo!” Gue dorong dia yang masih ketawa-ketawa.

“Nah gimana lagi, lo nya godain gue kayak gitu, nyet,” katanya cengengesan.

“Taik. Otak lo tuh yang ngeres!” kata gue sewot lalu masuk ke mobil.

Jimmy beranjak dari duduknya, tapi dia masuk ke pintu jok belakang. Dia pikir gue supir apa!

“Trus lo suru gue nyupirin gitu. Maksud lo???” protes gue.

“Ssssstttt,” ibu jarinya menyentuh bibir gue, mengisyaratkan agar gue berhenti ngomel-ngomel.

Diciumnya perlahan sesuatu yang tadi ia sentuh dengan ibu jarinya. Begitu lembut, namun dalam, dan ciumannya selalu membuat seluruh persendian gue lemas. Perlahan gerakan itu sedikit lebih cepat dan lebih dalam. Dia tarik gue menuju jok belakang mobil. Angin sekitar yang tadinya dingin menusuk, kini menjadi hangat ketika dia semakin merapatkan gerakan diantara ciumannya. Otak gue terasa tinggi tanpa morfin, dan tubuh gue menjadi hangat tanpa alkohol. Semua terasa begitu hangat disetiap incinya, begitu nikmat disetiap detiknya. Harus gue akui, Jimmy adalah cowok terhebat didunia untuk diajak bercinta semalaman, bahkan untuk bercinta didalam mobil seperti saat ini sekalipun.


*


                Mobil berhenti didepan sebuah rumah tipe 158. Kami saling diam. Saling diam dari beberapa jam yang lalu ketika kita sudah memasuki kota Jakarta. Belum ada dari kita yang beranjak turun dari mobil. Jimmy masih diam, mungkin dia sedang berfikir, atau merangkai kata untuk berbicara pada papa nanti. Yah semoga aja Jimmy dapet wangsit sehingga dia bisa sedikit bijaksana untuk membuang semua kekonyolannya untuk sementara. Jimmy menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mungkin untuk proses rileksasi. Dia mencoba menyembunyikan rasa tegangnya, namun gue tahu betul kalo dia sama takutnya kayak gue. Lalu merapikan rambutnya, menyibakkan dibelakang daun telinganya (untung aja rambutnya dicuci sebelum berangkat tadi). Ia membuka pintu mobil, lalu turun. Memandang rumah sunyi didepannya sebentar, lalu melangkah kearah pintu gue yang masih tertutup karena gue masih duduk mematung dan belum bergerak untuk membukanya. Jimmy merapikan kemeja kotak-kotak biru-merah lamanya yang jarang sekali dia pakai, dan kali ini celana jeansnya gak sobek-sobek. Dan kali ini gue juga pake tanktop dobel kemeja putih biar kelihatan rapi, dan celana jeans gue juga gak sobek-sobek. Gue keluar mobil. Gue takut untuk melangkah masuk kedalam. Tapi jujur aja gue kangen sama rumah gue yang sudah hampir 7 tahun gak gue pulangi, gue kangen sama mama, kangen pelukannya, kangen beliau ingetin gue tiap jam makan, kangen papa, meskipun mungkin ntar beliau gak mau terima gue lagi, gue juga kangen budhe Ima yang selalu bantu-bantu gue, tapi takut.

“Jim, gak jadi aja, deh,” kata gue memegang lengan Jimmy.

Jimmy masih diam. Lalu menoleh ke gue, tersenyum kecil diantara rasa bimbangnya. Kemudian menggenggam tangan gue. Telapak tangan kami ternyata sama-sama dingin, seperti saat kita makan roti isi selay mushroom sapi waktu kita berada di Bali. Kami berjalan mendekat pagar, Jimmy segera membunyikan bel. Seorang wanita berumur 60 tahunan keluar. Itu pembantuku, Budhe Ima, begitu kami sekeluarga memanggilnya karena kami sudah menganggap seperti keluarga kami sendiri.

“Non, Nensi ? Dari mana saja, non? Budhe kangen,” begitu kata Budhe Ima sembari membuka pager.

“Nensi juga kangen sama budhe,” Gue peluk budhe ima yan tingginya sebahuku.

“Papa-mama ada didalam, Non, masuk aja,” kata budhe.

Gue melangkah masuk kedalam rumah, Jimmy masih disamping gue, gandeng tangan dingin gue dengan tangan dinginnya. Gue melewati ruang tamu, tampak kosong. Disofa biru muda itu biasanya gue tiduran dengerin mp3 kalo gak ada kerjaan dirumah. Lalu gue melangkah ke ruang makan. Disana sudah terlihat Papa-mama. Papa terlihat sedikit kaget, tapi kemudian membuang muka. Mama tak kalah kaget, “Nensi?” ucapnya lirih, hampir tak terdengar telinga, namun gue bisa baca bahasa bibirnya. Mama langsung menangis.

“Mau apa kalian kesini?” suara Papa memecah keheningan sementara yang terjadi diruang makan ini.

Gue semakin merasa kecil dengan pertanyaan itu, jantung gue terpompa dengan cepat seakan-akan gue abis menelan pil Dextro terlalu banyak.

“Sebelumnya saya minta maaf, Om. Kedatangan Saya kemari, saya ingin meminta izin untuk menikahi Nensi,” kata Jimmy pelan namun to the point.

Kepala gue pening, hampir mau pingsan, lantai sekitar tampak berombak. Semua terlihat kabur. Bergerak-gerak tak terkendali. Keringat dingin keluar semua, kaki terasa lemas, nafas terasa berat. Mungkin tanpa Jimmy disamping gue, gue sudah jatuh lemas atau bahkan berlari keluar dan bersumpah takkan sanggup tuk kembali lagi. Namun genggaman tangannya begitu memberi ammunisi disetiap persendian gue yang kini sedang melemah hingga sampai kini masih bisa tegak berdiri. Mungkin pada detik ini Tuhan tunjukin ke gue, sisi lain dari searang Jimmy. Jimmy yang dekil, heboh, gila, konyol, aneh, lucu, yang benci banget sama bangku sekolah, dan berantakan minta ampun, namun kali ini Jimmy yang gue lihat sangat lain. Jimmy yang gue lihat saat ini begitu tenang, kalem, tegas, sopan, dan bertanggung jawab. Jimmy masih menggenggam tangan gue. Mungkin tanpa genggaman tangan Jimmy, gue takkan mampu berdiri tegak disini.

*

2 komentar:

  1. siippp :) keren cerpennya... orang yg berantakan trnyata lebih bertanggung jawab ya :D

    BalasHapus
  2. iya ...
    :)
    karena setiap orang punya sisi lain masing-masing dr dalam dirinya ...
    ^^
    makasih udah review, yah, bang :D

    BalasHapus