Senin, 19 Desember 2011

Jangan Merokok Lagi, Ma ...

                 Reni terduduk diatas kloset toilet Mall tempat kerjanya. Memandangi sebuah testpack bergaris merah dua ditangan kirinya. Hasilnya positif. Takut, bingung berkecamuk dihati. Tangan kanannya mencengkeram rambut panjangnya. Ia ingin menangis, tapi itu bukanlah pada tempatnya. Gadis dua puluh tahun itu segera memasukkan testpack kedalam tasnya dan bergegas keluar. Tangannya gemetaran . langkahnya sedikit dipercepat meski tak ada seorangpun yang sedang mengejar. Lalu langkahnya berhenti di Food Court, mengambil handphone disaku, menelpon seseorang yang pastinya ada kaitannya dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Beberapa kali panggilannya tidak terangkat, namun tanpa putus asa ia terus mencoba, sampai akhirnya seseorang disana mengangkat.
“Halo, Gerry, kamu dimana, sayang?” sapanya dengan nada cepat.

“Ditempat kos lah. Kenapa?” suara Gerry terdengar berat.

“Kamu lagi ngapain? Aku mau ketemu sama kamu, Ger. Ini penting!” intonasi Reni terdengar kacau.

“Ini baru bangun tidur. Mau ngomong apaan sih?” suara Gerry masih terdengar malas.

“Aku gak bisa ngomongin ini lewat telfon. Ini penting banget!”

“Iya, penting itu apa?!” Gerry setengah jengkel.

“Ger, aku hamil!” kata Reni sedikit melirihkan suaranya.

“Hah!!! Yakin kamu???”

“Iya, tadi aku udah cek pake testpack,”

“Trus mau kamu apa?”

“Iya kamu cowok gimana tanggung jawabnya?”

“Hah? Kamu yakin itu hamil sama aku?”

“Maksud kamu apa, Ger?!”

“Iya temen cowok kamu banyak, bisa aja kamu sama mereka,”

“Anjing kamu, Ger! Aku gak pernah ML sama siapapun selain kamu!”

“Yah mana aku tau? Bisa aja itu bukan anakku, lagian kita juga baru pacaran sebulan,”

“Anjing! Pokoknya kamu harus tanggung jawab, Ger!”

“Gak bisa gitu donk! Ogah gue mah, belom tentu juga itu anak gue!”

“Pokoknya aku tunggu kamu di Food Court Tunjungan Plaza sekarang. Kita harus ngomong, Ger,”

“Ah, apaan sih lo!”

Gerry menutup telfonnya. Telinga Reni tak mampu menerima pembicaraan dari telfon barusaja. Telinganya mengeluarkan suara ‘nguiiiiinnggg…’ mengalahkan suara hiruk pikuk Mall. Ia ingin menangis, tapi sekali lagi air matanya keluar tidak pada tempatnya. Sekarang yang dilakukan hanya menunggu Gerry. Maksud hati ingin langsung meluncur ke kos nya, tapi sialnya dia belum tau dimana kosan Gerry.

               Suasana Food Court sudah sepi pengunjung, tinggal beberapa karyawan yang mulai membereskan piring-piring bekas yang masih ada di meja. Ternyata Gerry memang tidak datang. Ditelfon pun handphonenya nonaktif. ia berlari. Menangis. Tak peduli dengan beberapa pasang mata karyawan yang tertuju padanya. Ini hidupnya. Tak peduli mereka bilang apa. Toh mereka juga tak peduli pada hidupnya.

*

               Masih ada separuh cairan yang tersisa dibotol Chivas Regal didepannya. Reni menuang lagi setengah gelas sloki besar ditangannya. Ia masih menangis. Entah tak pernah ia berhenti menangis setiap hari. Takut apa yang akan dikatakan pada orang tuanya didesa tentang kehamilannya.

“Sampe sekarang masih belom ada kabar dari Gerry, Ren?” tanya Bella, teman sekosnya.

“Belom. Anjing dia! Aku udah ketemu kosnya tapi kata temen-temennya dia udah balik ke Jakarta. Dasar anjing!” jawab Reni dalam tangisnya.

“Cowok emang anjing, Ren. Sabar aja,” Bella mengusap pundak Reni, “trus kamu maunya gimana?” wanita yang lebih tua dua tahun darinya itu memeluknya dari samping.

“Tauk lah, Bel. Aku udah coba semua jamu yang orang-orang bilang, aku juga udah cobain nanas muda, tapi belom ada hasilnya juga. Sementara ini udah 3 bulan jalan,” Reni semakin menangis.

Bella memeluk erat tubuh temannya yang tak pernah berhenti menangis. Sebenarnya ia tak ingin menberi saran yang buruk, namun ia tak tega dengan kondisi temannya yang sudah sekamar hampir 2 tahun. Dengan terpaksa ia memberi saran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, “Ren, aku punya temen yang pernah aborsi. Mungkin aku bisa tanya-tanya ke dia dimana tempatnya kalau kamu mau?” kata Bella pelan.

Reni terdiam. Lalu mengangguk pelan.

               Dipikirkannya saran Bella selama berjam-jam. Dihabiskannya malam dengan alkohol dan berbatang-batang rokok putih. Keegoisan dan hati nuraninya bertarung dalam otaknya. ‘Ini bukan salah bayi ini,’ batin Reni sambil mengelus perutnya yang sedikit lebih lebar dari biasanya. ‘Bukan keinginnannya juga untuk muncul diperutku, tapi apa kata orang didesa? Tapi dia anakku yang nggak ngerti apa-apa. Gimana aku bisa tega membunuh anakku sendiri?’ pikirannya berkecamuk. Begitu riuh renyah didalam sana. Masih dalam tangisannya disulut rokok putihnya yang tinggal sebatang.

*

               Reni berjalan-jalan ditempat pusat perbelanjaan. Ia melangkah menuju rak-rak yang berisi susu kaleng. Ia mengambil salah satu susu untuk ibu hamil. Kaleng susu dirumah yang ia beli 2 minggu yang lalu sudah habis. ia mengelus perutnya yang hampir 4 bulan. ‘Mama beliin buat kamu, sayang, biar kamu sehat,’ katanya dalam hati sambil tersenyum. ‘Terimakasih, Ma. Aku sayang Mama,’ Tiba-tiba reni terdiam, ia seolah-olah mendengar sebuah suara kecil dalam hatinya. Lalu ia melangkah lagi menuju kasir. Tangannya masih tak lepas dari perutnya, dibelainya dengan kasih sayang.

“Reni kamu beli apa?” seorang wanita berumur 40 tahunan menyapanya dari belakang antrian kasir.

Reni kaget bukan main ketika menyadari wanita itu adalah tetangga di kosnya, wanita itupun tak kalah kagetnya ketika melihat Reni memegang perut dan membawa susu kaleng. Reni terdiam, ia bingung apa yang harus ia jawab, begitu pula wanita itu.

“Aku mau pesen beras dulu yah, Ren,” kata wanita itu lalu buru-buru pergi dari hadapan Reni.

Reni masih terdiam. ‘Gawat! Pasti akan jadi gossip besar! Aku berarti harus siap cari kos-kosan baru!’ batin Reni.

               Tak pelak, keesokan harinya ia sudah jadi gunjingan tetangga. Semua tetangga memandang risih ketika ia lewat, bahkan ada beberapa yang langsung berkomentar buruk didepannya, “Amit-amit jabang bayi, anakku jangan sampe seperti itu, begitu kata mereka.

               Reni berbaring dikamar kosnya. Ia menangis lagi. Sakit rasanya. ‘Aku hanya ingin menebus dosaku dengan tidak membunuh anak ini, apa aku salah?’ katanya dalam hati. Namun sekali lagi ia mendengar suara kecil dari dalam hatinya, ‘Mama adalah orang terbaik dan tercantik dalam yang aku tahu. Mereka salah, Ma. Jangan menangis. Aku disini. Aku tahu mama adalah orang yang terbaik yang nantinya akan aku temui didunia,’ suara itu begitu nyata berbisik dihatinya. Reni tersenyum, lalu mengelus anaknya yang ada diperutnya.

“Ren, orang-orang kenapa kok pada tau kamu hamil?” tiba-tiba Bella menyeruduk masuk kekamar.

Reni bangkit dari pembaringannya. Lalu duduk dikursi menghadap jendela, dan menyulut rokok putihnya, “Pas aku beli susu kemaren, ketemu sama bu Wulan. Eh, ternyata sekarang udah nyebar beritanya. Cepet, yah?” kata Reni tersenyum kecut.

“Dasar emang emak-emak, gossip mulu kerjaannya!” ujar Bella sengit.

Reni menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam.

“Berarti akunudah harus siap-siap cari tempat kos baru, Bell, sebelum diusir mendingan pergi duluan,” kata Reni.

“Aku temenin kamu kemanapun kamu pindah, Ren. aku gak bakalan biarin kamu melahirkan sendiri,” kata Bella mengusap bahu sahabatnya.

Reni memeluk Bella, “Thanks, Bell,”.

“Ren, kamu hamil kok, ngrokokmu masih kenceng aja sih? Gak baik loh buat janin kamu,” kata Bella sedikit berintonasi tinggi.

Reni tersenyum lalu mengelus perutnya, namun tak juga ia matikan rokok ditangannya, “Gimana lagi, gak bisa putusin rokoknya, Bell,”.

“Yah, tapi gak baik, Ren,"  

Hati Reni kembali terdengar bisikan, ‘Ma, rokok itu apa? Kenapa setiap kali asap ini datang, badanku sakit semua? Sakit sekali, Ma, rasanya, tapi aku tetap coba bertahan agar bisa temenin Mama,’ Reni terdiam. Lalu ia mencoba mengalihkan pikirannya.

Reni terdiam memandang perutnya, lalu mengambil tangan Bella untuk mengelus perutnya.

“Ini tante Bella, sayang. Temen Mama yang paling baik,” Reni berbicara lirih kepada perutnya sendiri.

Bella tersenyum lalu ikut menyapa, “Halo, sayang, jadi anak baik, yah, seperti Mamamu,”.

Janinnya gusar berputar-putar, mungkin karena asap rokoknya, namun Reni tak pedulikannya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan keras. Reni segera mematikan rokoknya. Bella segera membuka pintu yang terdengar berisik. Ibu kos dan beberapa ibu lain yang berwajah culas sudah berdiri diambang pintu.

“Reni, kamu harus keluar dari tempat kos saya. Saya nggak mau ada orang nakal tinggal ditempat saya,” kata Ibu kos tegas dan dengan wajah antagonis ala sinetron.

“Iya, kita nggak mau anak-anak kita ketularan jadi perek kayak kamu!” kata salah satu dari yg lainnya yang wajahnya tak kalah antagonisnya.

Reni tersentak. Tapi ia hanya diam.

“Iya, bu. Ini kami juga udah siap-siap pergi dari sini, kok, tenang aja,” ujar Bella sengit.

“Iya, secepatnya, kalo bisa hari ini!” kata wanita berumur 50 tahunan itu dan berlalu.

“Dasar perek!” kata satu wanita sebelahnya dan ikut berlalu dengan wajah culas.

Bella menutup pintu kamar. Memeluk Reni yang terduduk menangis.

“Aku cuma berusaha berbuat baik dengan gak menggugurkan kandunganku, Bell. Apa aku salah?”.

“Udah, Ren, sabar. Kita pindah dari sini, cari tempat yang lebih baik,”.

Ditengah tangisnya, kembali Reni didengari bisikan kecil dari hatinya, ‘Ma, jangan nangis. Mereka hanya tidak tahu kalau Mama baik. Aku janji, nanti aku tidak akan buat Mama nangis. Aku janji, Ma,’ . Reni mengelus perutnya dan bangkit untuk berkemas.

*

               Reni mematikan rokoknya ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kos-kosan barunya. Ia hendak bangkit untuk membuka pintu. Tapi dengan segera Bella bangkit.

“Biar aku aja yang buka, Ren,” kata Bella.

Ternyata yang ada dibalik daun pintu itu adalah Gerry. Dengan wajah lelah Gerry berdiri diambang pintu, matanya langsung tertuju pada Reni yang juga terkejut melihatnya. Bela menatap Gerry dan Reni bergantian. Tanpa ba-bi-bu, Gerry menerobos masuk dan berlutut dibawah Reni.

“Ren, aku minta maaf. Aku minta maaf saat itu aku ninggalin kamu,” katanya menangis dikaki Reni.

Reni terdiam. Kaku. Tak mampu berkata apa-apa. Antara sedih, bahagia, benci melebur menjadi satu menggangu pernafasannya. Hanya air matanya yang berbicara.

“Ren, aku datang kesini buat tanggung jawab, Ren. aku mau nikahin kamu, aku nggak sayang kamu, juga anak kita,” kata Gerry masih berlutut dalam tangisnya.

Reni masih terdiam dan tangisnya semakin memburu. Bella pun tak kalah menangisnya. Segera ditutupnya pintu kamar membiarkan mereka berdua.

Reni menjunjung Gerry untuk bangkit dari kakinya. Lalu memeluk Gerry.

“Sudah berapa bulan anak kita, Ren?” tanya Gerry sambil membelai perut Reni.

“Udah empat bulan jalan, Ger,” kata Reni ikut membelai perutnya.

“Beberapa hari lagi orang tuaku datang keSurabaya, Ren. buat nemuin orang tuamu diMalang. Kita harus segera menikah,” Gerry mencium kening Reni.

Reni tersenyum dengan air matanya, lalu mengangguk. Ia memegang tangan Gerry yang menempel diperutnya.

“Ini papa, sayang. Papa datang buat temuin kamu, kamu seneng kan?” kata Reni kepada perutnya sendiri.

“Papa sayang kamu, sayang,” Gerry duduk dihadapan Reni dan mencium perut Reni.

Untuk kesekian kalinya Reni mendengar suara kecil dihatinya, ‘Papa pasti cakep dan baik. Sama seperti Mama. Aku bahagia punya Papa dan Mama yang baik hati,’.

*

               Pagi itu perut Reni terasa mulas, panas, dan janinnya berputar-putar. Reni gelibekan, keringat dinginnya keluar.

“Ren, kamu kenapa?” tanya Bella gelisah.

“Gak tau, Bell, sakit banget!” Reni menangis menahan sakitnya.

“Ini kan masih empat bulan jalan, masa udah lahiran. Aku antar kedokter, yah?” kata Bella khawatir.

Reni mengangguk.

“Kamu sih, Ren. hamil, gak pernah control ke dokter sama sekali,”

“Ntar tolong telfonin Gerry, Bell,”

“Iya,”

               Gerry melajukan mobilnya kencang menuju rumah sakit terdekat. Menembus hujan deras yang mengguyur kota Surabaya sejak beberapa hari ini. Tibaah mereka dirumah sakit umum Kota Surabaya. Reni segera digiring menuju Unit Gawat Darurat. Namun sebelum Reni tertidur karena obat bius dokter, Reni sempat mendengar suara kecil dihatinya, 'Mama, aku minta maaf. aku sudah mencoba bertahan buat temenin Mama. tapi asap rokok yang Mama masukkan dalam tubuh Mama buat aku sakit, buat aku kepanasan. Aku selalu mencoba kuat, agar nantinya aku bisa melihat Mamaku yang cantik dan baik, dan papa juga. Maaf, Ma, maaf, Pa. aku kecewain Mama yang sudah sayang sama aku. Ma, berhenti merokok ya, Ma . Biar suatu saat nanti, kalo aku punya adik, dia nggak akan ngerasa kesakitan dan kepanasan kayak aku. aku sayang Mama ...” lantas suara itu hilang begitu saja.

Sepersekian detik kemudian Reni sudah tak sadar, namun hatinya menangis. ia merasa telah kehilangan anaknya. Dan hatinya berjanji untuk tidak akan menyentuh rokok lagi sampai kapanpun .

***

2 komentar: