Minggu, 30 Oktober 2011

My Best



“Setaaaaannnn…” teriak Bima lalu lari meninggalkan Karina yang tadi berjalan disampingnya.
“Bima, tunggu!!!” Karina ikut berlari.
“Hahaahaa…!” Bima tertawa menang setelah menakut-nakuti sepupunya, lalu berjalan seperti biasa .
Karina berhasil menyusul langkahnya namun menangis, “Bima, kamu kok jahat sih !”.
“Yaaaahhh, Karin, aku kan udah biasa nakut-nakutin. Jangan nangis gitu, donk,” kata anak laki-laki umur 6 tahun itu.
“Tapi kan jalannya sepi, aku takut sungguhan,” jawab gadis yang juga seumuran dengannya.
“Ya udah, maaf. Tapi jangan nangis terus, nanti aku dimarahin eyang,”
“Percuma kamu minta maaf, besok-besok juga diulang lagi,”
“Iya janji gak nakutin lagi,”
“Janji?”
“Iya-iya, janji,”

*

            Malam semakin larut, namun suara acara musik ditengah lapangan outdoor itu masih terdengar bising. Vokalis pun masih giat teriak-teriak didepan mikrofon tak peduli orang-orang yang tak ingin mendengar, seakan-akan hanya dia dan penontonnya saja yang punya telinga . Bima dan Karina berdiri diantara penonton-penonton yang lain.
“Busseettt, dah! Perasaan lagu yang dinyanyiin dari awal sampe akhir nadanya kagak ada bedanya!” kata Karina ngedumel sendiri.
“Hahaha…! Iya begini-nih lagu metal. Aku sendiri kadang juga bingung dengernya!” jawab Bima asal.
“Nah kalo bingung ngapain kamu ngajakin aku nontong yang beginian?”
“Yah, emang agak ngebingungin, sih. Tapi bagusnya tuh, lagu kayak gini, emosinya dapet,”
“Waduh! Entar kalo emosinya dapet, semua sound system bakalan dilepar-lemparin, nih, saking emosinya,” memasang muka bego.
“Hahaaha…! Maksudku emosi nyanyi, nyet!” Bima tertawa lalu mendorong pelan kepala Karina.
“Mendingan lagunya The SIGIT, kek, apa kek,” Karina masih ngedumel.
“Iya, sih. Lebih ringan nadanya, yah?” Bima manggut-manggut.
“Nah maka dari itu,” Karina melirik penuh isyarat.
“Biasanya kalo ngomongnya dah kayak begini, tandanya minta pulang. Iya kan?”
“Hahaaaha…! Tau gitu loh!”
“Bima!” dari jarak beberapa meter ada seseorang yang memanggil namanya.
Bima menoleh ke asal suara. Teman sekolahnya yang berjalan menghampiri mereka.
“Woe! Edo!”
“Dah lama?” sapa laki-laki itu.
“Udah, nih mau balik,” jawab Bima.
“Yaelah, kirain ceweknya Bima. Ternyata Karina lagi-Karina lagi!” kata Edo sambil sok memasang wajah putus asa.
“Sialan!” Karina ketawa kecil.
“Yaudah balik duluan,” sahut Bima.
“Oke, ati-ati,”
“Yo’i”.
*

“Budhe, Karin ada?” sapa Bima pada ibu Karina yang juga adalah tantenya.
Wanita setengah baya berkerudung itu menoleh sebentar, “Tuh ada didalam. Masuk aja, Bim,” lalu melanjutkan kembali menonton televisi.
Tanpa ba-bi-bu, Bima langsung nyelonong asoy geboy aja masuk kamar Karina.
“Buju buset!” Karina kaget, “Main selonong aja masuk kamar orang. Untung aku gak pas bugil!”.
“Yah kalo kayak gitu berarti ceritanya kamu lagi beruntung dan aku lagi apes! Hahaaha!”
“Yeeee…!!!” Karina menjambak rambut Bima.
“Rin,”
“Apah!”
“Anterin, dong!”
“Ceile! Anterin! Udah kayak balita aja!”
“Heheheehe!”
“Kemana?”
“Kerumah Anggi,”
“Ngapain?”
“Biasa, deh. Pinjem pe’er,”
“Yaelah. Berangkat sendiri kan bisa, sih. Lagian deket juga rumahnya,”
“Kamu tau sendiri, bokapnya tuh,  ‘Afgan’ banget!”
“Heh! Maksudnya?”
“Sadis!”
“Hahahaaaha! Bisa ajah!”
“Iya ntar kalo aku kesana sendirian dikira ngapel. Kalo sama kamu kan enggak,”

*

“Tengkyu yah, Bim, baksonya!” Karina cengar-cengir kekenyangan.
“Iya-iya! Knapa tuh pake mulet-mulet segala?”
“hehee! Kekenyangan kayaknya!” Carina meringis.
“Yaiyalah. Gimana gak kenyang, makan dua mangkok. Ini cewek apa bencong, makannya rakus bener!” Bima ngedumel sambil membayar bakso yang tagihannya lebih banyak punya Karina.
“Bim, pulang, yuk. Gerimis gini kayaknya,” Karina mengelap tangannya yang kejatuhan beberapa titik kecil air hujan.
Bima menengadahkan tanganya, “Iya,”
Lalu mereka melangkah sedikit cepat . Jalanan masuk blok rumahnya sudah semakin sepi hingga langkah kaki mereka terdengar sangat jelas. Tiba-tiba langkah kaki Bima berhenti. Pandangannya focus tertuju jauh disebelah Karina.
“Apa’an, Bim?” Tanya Karina memandang Bima lalu beralih memandang kearah tatapan Bima tertuju.
“Setaaaaannnn!!!” Bima berlari meninggalkan Karina yang disebelahnya.
“Bima tunggu!” Karina ikut berlari.
Lalu bima berhenti dan tertawa menang. Lalu menoleh kebelakang, ternyata didapatinya Karina jatuh kakinya tergelincir. Karina mencoba berdiri tapi sedikit susah payah, sementara gerimis semakin padat. Bima berlari kecil menghapiri Karina yang jalan sempoyongan.
“Kamu nggak apa-apa, Rin?”
“Tau! Aku males sama kamu!” jawab Karina sewot.
“Mau aku gendong?” tawar Bima sembari menuntunnya jalan karena gerimis lebat sudah berganti menjadi hujan.
“Udah! Pergi sana! Aku bisa jalan sendiri!” Karina mendorong Bima hingga jatuh terduduk dan kembali berjalan dengan susah payah.
Bima sadar kali ini Karina benar-benar marah. Dia bangkit dari duduknya dan mencoba menuntun Karina lagi.
“Aku bantuin jalan, Rin,” Bima mencoba menuntun kembali langkah sepupunya itu.
“Udah! Aku bisa sendiri! Pulang aja sana!” Karina membentak ditengah tangisnya.
“Sorry, Rin. Aku cumah bercanda, sumpah, aku gak ada maksud…” kata-kata Bima terpotong suara Petir.
“Gak ada maksud apa? Aku dulu udah pernah bilang, jangan nakut-nakutin lagi, kamu juga udah janji!” suara Karina tenggelam diantara suara hujan.
“Maaf, Rin, maaf,” Bima tetap berusaha menmatu langkah Karina yang hendak terjatuh.
“Alah! Udah gak usah sok-sok bantuin! Pergi aja sana! Aku bisa pulang sendiri! Jangan deket-deket aku lagi,” Karina memberontak ketika tangan Bima berusaha membatunya. Tapi Bima berusaha tetap berusaha keras memeluknya, meski karina terus memberontak, sampai akhirnya Karina tenang.
“Kamu kan tahu aku penakut, kamu dulu juga udah janji nggak bakalan nakut-nakutin aku lagi, tapi kenapa kamu ngulangi?” kata Karina pelan.
“Aku minta maaf, Rin. Sumpah aku gak bakalan ngulangin lagi. Sumpah. Aku janji,” Bima masih memeluk sepupunya erat. Tapi ia merasa ada yang aneh dalam pelukan itu. Tidak seperti biasanya. Seperti… ‘Entahlah…’ batinnya.

*

            Siang itu sepulang sekolah Bima datang kerumah Karina. Hari ini Karina tidak masuk sekolah, kata teman-teman sekelasnya dia sedang sakit. Dia juga baru tahu ketika disekolah. Karena paginya tidak seperti biasanya Karina tidak mau berangkat bersamanya, dia bilang akan berangkat sekolah sendiri. Tapi ternyata tidak masuk sekolah. Mau sms atau telfon hape rusak gara-gara kehujanan kemarin.
            Bima membuka pintu kamar Karina. Tampak Karina sedang duduk ditempat tidurnya sembari membaca buku pelajaran, tanpa menoleh Karina menyapa, “Tumben jam segini dah nyampe rumah. Biasanya kelayapan dulu,”.
Bima tidak terlalu memperdulikan kata-kata itu, ia langsung duduk disebelah Karina. Memegang kening Karina dengan punggung tangannya.
“Flu, yah?” kata Bima sedikit merasa bersalah.
“Iya lah, jangan sampe dah kena epilepsy!” Karina tersenyum kecil.
Bima ikut tersenyum tapi sedikit memaksa.
“Udah minum obat?” Bima memandangi wajah gadis dengan buku Biologi ditangannya itu.
“Tadi pagi sih, udah. Siangnya yang belom,” kata Karina masih sibuk membaca buku
“Udah makan,” Tanya Bima lagi berharap Karina meletakkan bukunya dan perhatiannya beralih pada kedatangannya.
“Udah. Tuh piringnya,” mata Karina menunjuk kearah piring kotor diatas meja belajarnya lalu kembali membaca buku.
“Minum obat, yah. Aku ambilin,” tawar Bima lagi masih berusaha.
Mata Karina berhenti membaca. Tapi masih tertuju pada huruf-huruf dibuku. Lebih tepatnya sedikit berfikir. Lalu meletakkan bukunya.
‘Sukses!’ batin Bima, lalu mengambil obat yang ada dimeja rias milik Karina, mengupas bungkusnya dan mengambil air mineral.
Karina meminum obatnya, “udah, bos” kata karina tersenyum.
“Nah gitu, donk. Jangan sewot terus. Jadi takut. Mana kalo sewot wajahnya udah kayak panci peyot pula!” Bima ikut tersenyum.

            Bima memandangi wajah manis sepupunya yang sedang tertidur (karena efek obat) disampingnya. Lalu ia duduk. Memainkan rambut Karina. Diam. Mungkin berfikir. Lalu memandang wajah Karina yang sedang tertidur. Lalu terdiam lagi, dan tanpa sadar menggelengkan kepala dalam diamnya. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil tas, dan bejalan menuju pintu. Namun langkahnya terhenti. Ia kembali menuju tempat tidur, dan mencium kepala Karina. Lalu keluar kamar.

*

‘Kriiinnnggg’ telepon genggam Karina berbunyi, dilihatnya itu telpon dari Bima. Segera ia angkat.
“Bim, dari mana ja? Kamu bolos lagi, yah? Dasar!” Karina langsung nyerocos begitu mengangkat telpon.
“Rin. Sekarang aku ada diTaman Bintang, kamu cepetan kesini, yah. Aku tunggu!,” kata Bima tak peduli omelan Karina.
“Eh-eh-eh! Tunggu! Taman Bintang tuh mana, nyet?”
“Ya’elah, yang deket sekolah kita ntuh, nyet!”
“Oooke-oke! Ada apa’an sih?”
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,”
“Kok nggak ngomong ditelfon aja sih, aku juga ada bimbingan abis gini,”
“Ini penting, Rin. Gag bisa diomong lewat telfon,”
“Ceileee, penting apaan, bro?”
“Eh, serius ini. Buruan kesini,”
“Oke-oke!”

            Bima memasukkan handphone kedalam sakunya, mondar-mandir nungguin Karina datang. ‘untung tamannya lagi sepi’, batin Bima. Sekitar 10 menit kemudian Karina datang.
“Mau ngomong apa’an, Bim?” tannya karina sedikir dengan nafas ngos-ngosan.
Bima tidak langsung bicara. Ia menatap sembari memegang bahu Karina. Karina diam saja, menatap aneh, namun beberapa detik kemudian tatapannya malu-malu karena Bima tak henti menatap lekat-lekat matanya.
“Rin, Dua hari lagi,” Bima mulai membuka kata-katanya.
“Emangnya kenapa, Bim, dua hari lagi,” tanya Karina bingung.
Bima diam sejenak, lebih tepatnya berfikir. Karina ganti menatap mata Bima lekat-lakat mencari jawaban didalamnya. Kini ganti Bima yang tampak malu-malu. Bima melapas tanganya dari bahu Karina, menunduk, lalu mendongak dan menarik nafas dalam-dalam.
“Dua hari lagi, aku sekeluarga mau pindah keBali. Bokap dapet dinas disana untuk beberapa tahun,” kata Bima kembali menatap mata Karina.
Karina tersenyum kecil, “Udah deh, jangan bercanda! Mau aku ngambek lagi kayak kemaren?”.
“Aku gak lagi bercanda, Rin!”
Karina menatap mata Bima lekat-lekat, mencari sinar tawa didalamnya. Tapi tidak ditemukan. Kali ini Bima benar-benar terlihat serius, atau mungkin memang serius.
“Kamu serius, Bim?” tanya Karina sekali lagi.
Bima mengangguk sedikit, bahkan sedikit tidak terlihat mengangguk.
“Berapa lama?” suara Karina sedikit gemetar.
“Aku gak tau pasti,” Bima menggeleng lalu menunduk. Tak sanggup menatap Karina yang tampaknya akan menangis.
“Dan sebenernya aku…” Bima menghentikan kata-katanya.
“Sebenernya apa?” Karina memandang wajah Bima yang tertunduk.
Lalu Bima memeluk Karina erat-erat. Begitu erat dan lama. Berharap Karina mengerti apa yang dia maksud. Berharap Karina sadar tanpa harus ia menjelaskannya. Berharap Karina juga merasakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
“Sebenernya apa, Bim?” tanya Karina dalam pelukannya.
Bima menggeleng, masih terus memeluk Karina.
“Ini kesalahan. Aku bener-bener ngelakuin kesalahan,” kata Bima pelan.
 “Dan parahnya, aku juga melakukan kesalahan itu,” kata Karina datar.
Lalu pelukan itu sunyi kembali. Hanya berirama suara angin sekitar.
Perlahan-lahan Bima mengendorkan pelukannya. Lalu mengambil nafas dalam-dalam.
Karina memegang lengan Bima, “Percaya deh, aku yakin emang Tuhan udah pilihin jalan yang kayak gini buat kita. Mungkin kalo kamu udah disana, aku disini, pelan-pelan kita bisa perbaiki kesalahan kita ini,” ia berusaha tersenyum dalam setiap kata-katanya, namun air mata itu tak bisa membohongi senyumannya.
            Sekuat tenaga Bima menatap mata basah itu lalu diusapnya. Pelan-pelan ia mendekat. Sepersekian detik ia berfikir ingin mencium bibir gadis yang ada dihadapannya itu. Pelan-pelan, dan tak ada penolakan. Namun saat tujuannya hampir sampai, sepersekian detik kemudian ia tersenyum dan beralih mencium kening Karina. Lalu mereka sama-sama tersenyum kecil.
“Udah, ayo pulang. Gak usah bimbel-bimbel segala hari ini! Kebanyakan bimbel botak kamu ntar!” kata Bima merangkul pundak Karina.
“Astaga! Amit-amit! Hahahaaha!” Karina tertawa.
“Beneran itu! Mau kamu, cantik-cantik botak?!”
“Woooeee!!! Baru kali ini kamu bilang aku cantik!”
“Hahaaha! Iya baru nyadar aku!”
“Dari mana aja kamu, hari gini baru nyadar aku cantik?!”
“Ya’elah! Lagian juga kagak cantik-cantik amat kok, pede gilak!”
“Idih! Buktinya temen-temenmu juga pada naksirin aku semua…”
“Iya itu mata batinnya belom kebuka,”
“Sialan! Huuuh!”
“Hahahahaaaha…!”

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar