Minggu, 30 Oktober 2011

Na ...


     
       Disiang yang panas, gadis kecil berumur lima tahunan berlari kecil sambil bernyanyi. Sesekali ia terjatuh. Tanah dibawahnya mengotori seragam putih merahnya yang sedikit kumal. Lari kecilnya sampai direl kereta api. Beberapa meter kemudian, ia sampai disebuah rumah kardus kira-kira berukuran dua kali tiga disebelah rel. lalu ia membuka pintu rendah itu. Itulah rumahnya. Nama gadis itu Gina, ibunya sering memanggilnya Na.
“Assalamu’alaikum… Bu, Na udah pulang!” katanya riang.
“Wa’alaikum salam… Na, ini ibu bawa nasi bungkus, Na pasti laper,” wanita setengah baya itu tersenyum sambil menyodorkan sebungkus nasi pada Na.
“Ibu udah makan?” Na menatap wajah ibunya yang berpeluh.
Wanita itu tersenyum. “Dimakan, gih!”. Lalu mengusap rambut tipis dan merah Na.
“Na sekolah yang pinter, ya. Biar besok bisa jadi dokter, Na kan pengen jadi dokter,” wanita itu menggeret kursi kecil dan duduk disamping anaknya yang sedang makan.
“Ya, bu. Besok, Na pengen ajak ibu keliling dunia. Naik Haji juga,” sambung Na.
“Amiiin…” tambah ibunya tersenyum.
“Kalo udah selesai makan, Na langsung bobok siang. Biar sorenya nggak capek waktu ngaji,” kata ibunya lalu berdiri merapikan tas sekolah Na.
Gina tidak menjawab, ia asik melahap nasi bungkusnya. Ibunya menjungkir kendi dan mengalirkannya kedalam gelas plastic kuning kosong yang terletak disamping anaknya makan, “Ini minumnya,”.
“Oya, bu. Tadi Na ulangan dapet seratus lho!” Gina beranjak dari duduknya menuju tas yang sudah sobek disana-sini.
“Dilanjutkan dulu makannya, nak,” kata ibunya.
“Bentar,” tangannya Na merogoh tas merah mudanya, “Ini,” lalu ia menyodorkan selembar kertas dan melanjutkan makanannya yang tinggal sedikit.
“Wah, pinter! Terus belajar yang rajin, ya, biar dapet seratus terus. Nanti kalau Na dapet rangking satu lagi, ibu beli’in tas. Tas Na kan udah rusak,” Ibunya member semangat.
“Oke!” Na mengacungkan jempol tangannya.
“Na, ibu mau cari uang dulu, ya. Buat makan Na nanti malem,” wanita berkerudung itu mengemasi tas cokelatnya yang juga sudah tidak layak, “Jangan lupa bobok siang juga, biar ngga kecapekan,” tambahnya.
“Ibu berangkat kepabrik, ya?” kata Gina menghadap ibunya.
Ibunya mengemasi nasi bungkusnya yang tak tersisa. Tersenyum kearah Na, lalu mengangguk.
“Ibu berangkat Na. Assalamu’alaikum…” pamit ibunya.
Na mencium tangan ibunya yang mau berangkat, “Wa’alaikum salam,” jawab Na.
*
               Mimpi buruk memebangunkan Na dari tidurnya. Matanya mengernyit. Melihat kearah jam dinding bergambar logo air mineral pemberian seorang tetangga. Jarum jam pendeknya tertuju diantara angka tiga dan empat dan jarum jam panjang tertuju diangka depalan. Kata ibunya, itu waktunya Na bersiap-siap untuk mengaji. Gina segera bangkit dari tempat tidur yang ditupuki kasur kapuk dan dilapisi tikar yang sudah sedikit sobek. Ia mengambil gayung yang berisi sabun mandi, dua sikat gigi berukuran besar dan kecil, dan satu pasta gigi. Lalu ia menyambar handuk merah muda yang dijemur sebelah pintu rumah kardusnya. Setelah itu ia melangkah kecil menyusuri rumah-rumah kardus disebelah-sebelah rumahnya menuju kamar mandi umum nan ala kadarnya.
*

               Karyawan-karyawan pabrik keluar untuk kembali kerumahnya masing-masing. Seorang wanita setengah baya dengan kerudung sedikit kumal berusaha mendapat beberapa uang receh dari kantor karyawan-karyawan yang lalu lalang. Dengan doa, wanita itu berharap kalengnya bisa berisi uang dari seorang dermawan agar ia dapat membelikan makanan untuk anaknya yang berada dirumah. Klakson motor sana-sini adalah irama telinganya sehari-hari. Beberapa orang dibelakangnya satu persatu berlari kepinggir. Tiba-tiba klakson dengan suara kencang membuat jantungnya berhenti sementara. Ia menoleh dan tertegun, melihat truk pabrik berada beberapa meter dari tempatnya berdiri. Jalan yang bertikung tidak dapat mebuat wanita atau sopir itu dapat melihat bebas pada keadaan didepannya. Kakinya hendak melangkah kepinggir jalan, namun wajah truk itu sudah menyambar tubuh wanita itu meski sopirnya berusaha mengerem, namun jaraknya tidak mencukupi. Beberapa orang disekitar menjerit histeris, ada yang hapir pingsan. Truk dan beberapa karyawan laki-laki menggotong tubuh wanita yang sudah lemah itu. Tidak banyak yang menawarkan mobilnya untuk mengantar korban itu kerumah sakit, namun ada yang memanggil ambulans. Namun sayangnya, wanita itu menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Tak ada kartu identitas, tak ada yang mengenal, pihak rumah sakit menjadikan jenasahnya sebagai praktek otopsi.
*

               Adzan magrib berkumandang. Na berlari kecil menuju rumahnya sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang baru ia hafalkan tadi. Lalu ia membuka pintu rumah kardusnya, “Assalamu’alaikum… Bu, Na udah pulang!” katanya riang. Namun yang didapatinya rumah itu gelap. Tak ada sahutan seperti biasanya dari ibunya.
“Lho, ibu belom datang?” Na lalu menyalakan lampu yang kabelnya tersalur pada kabel umum.
Na mengedarkan pandangannya. Terdiam. Duduk dimeja tempatnya biasa belajar. Ia mengambil buku dalam tasnya dan mengerjakan PR. Perutnya terasa lapar, namun ia berusaha melupakan dengan PRnya. Ia terus mengerjakan PR-nya. Semua. Ia sangat yakin kalau nanti ibunya pulang dan membawa sebingkus nasi seperti biasanya. Ia melihat kearah jam dinding. Sudah jam setengah delapan. Tapi ibunya belum juga datang. Tidak seperti biasa. Ia meletakkan pipinya diatas kedua lipatan tangannya diatas meja. Untuk beberapa menit kemudian, mata lelah itu tertidur.
               Gina terjingkat dari tidurnya. Matanya mengedar kesekitar. Ibunya belum juga datang. Ia kembali melihat jam dinding. Sudah jam setengah dua belas. Gina berlari keluar rumah. Ia berlari-lari dijalan. Malam yang dingin tidak mengurungkan niatnya untuk mencari ibunya dipabrik tempat ibunya bekerja. Dengan nafas tersenggal-senggal ia tetap berlari. Beberapa orang dipinggir jalan menyapa, bertanya, bingung, melihat seorang anak kecil berlari ditengah malam. Sampai akhirnya ia tiba didepan pabrik. Ia mencari sosok ibunya diantara karyawan-karyawan yang lalu lalang pergantian shift malam. Namun ia belum juga menemukan ibunya diantara merka, sementara perutnya sudah benar-benar lapar. Gina mendekati salah satu karyawan pabrik.
“Pak, lihat ibu saya?” tangannya memegangi perutnya yang lapar dengan polos.
“Oh, enggak, dek,” jawab laki-laki itu lantas masuk kepabrik dengan tergesa-gesa.
Lalu gina mendekati yang lain, “Pak lihat ibu saya?”
“Enggak tahu ya, dek,” masih dengan jawaban yang sama.
Lalu bertanya pada yang lain, beraharap mendapat jawaban yang berbeda, “Pak, lihat ibu saya?”.
Laki-laki berseragam biru muda itu memandang Gina dengan pakaiannya yang sudah kumal. Ia berfikir, pasti anak itu bukan anak karyawan pabrik disini, pasti anak gelandangan. Lalu menjawab sebelum akhirnya berlalu juga, “Maaf, dek. Saya nggak kenal,”.
Gina setengah menangis, tapi ia segera mengusap air matanya. Dan masih berharap ada seseorang yang member jawaban yang diinginkannya.
“Pak lihat ibu saya?”
Laki-laki itu berjongkok didepan Na, “Yang mana, Dek? Soalnya kalau malam nggak ada karyawan perempuan,”.
Gina terdiam. Ingin menangis. Lalu sirine pabrk berbunyi. Laki-laki itu berdiri kembali.
“Tapi ibu saya…” Gina belum sempat melanjutkan kata-katanya, laki-laki itu sudah berlari masuk kepabrik dan pintu pabrik tertutup.
              
               Gina kembali kerumah dengan perutnya yang hanya terisi angin. Berlari kecil. Berharap sampai rumah ia dapat menemukan ibunya dan memeluknya. Tapi ternyata tidak. Rumahnya masih kosong. Ia menangis. Lalu berlari kembali menuju pabrik. Jalanan sudah tidak seramai tadi. Gerbang pabrik sudah tertutup. Dan sekitarnya juga sepi. Hanya tinggal kendaraan yang lalu lalang dijalan raya. Angin malam meniup rambut tipisnya naik turun. Ia menangis. Benar-benar menangis. Ia takut ibunya tidak pulang, perutnya juga benar-benar lapar untuk menghadapi malam yang dingin. Gina melangkahkan kakinya kepinggiran jalan yang berpasir. Ia terduduk sambil memegangi perutnya yang lapar. Lalu merebahkan tubuhnya diatas pasir kering, memandang lampu-lampu kendaraan yang lalu-lalang. Tangannya memainkan baru kerikil disekitarnya. Beruntung mereka yang malam ini tidur dikasur empuk dan selimut yang hangat.

               Suara klakson-klakson kendaraan lalu lalang membangunkannya dari tidurnya. ‘Sudah siang’ pikirnya. Namun ia belum juga menemukan ibunya. Banyak beberapa karyawan lalu lalang digerbang pabrik, namun bukan ibunya yang ia temukan. Perutnya belum terisi nasi sama sekali. Tubuh kecil itu gemetaran. Kini gerbang pabrik sudah tertutup, tak ada lagi yang berjalan kesana-kemari. Dengan mengumpulkan tenaga ia pulang kerumah. Berjalan pelan-pelan. Tapi tetap saja. Dirumah ia tak menemukan ibunya. Dengan menangis ia berjalan kembali menuju pabrik. Beberapa orang yang sisipan dijalan tidak mempedulikan pemandangan itu. Dipikirnya hanya trik-trik pengemis untuk mendapatkan uang. Lalu ia duduk ditanah berpasir kemarin malam. Menunggu ibunya. Badannya benar-benar gemetaran. Tak kuat. Ia terbaring. Lalu meraih ranting pohon yang terjatuh. Memainkannya. Dan mulai menulis ditanah hangat yang ia tiduri. ‘Bu, Na tunggu ibu disini’. Tangannya gemetaran. Diletakkannya ranting itu. Memegangi perutnya sambil terus menangis, hingga ia tak kuat lagi menangis. Matanya lelah, perutnya lapar, tubuhnya lemas. Lalu ia tertidur. Dan terus tertidur.
*

2 komentar: